Halaman

Sabtu, 11 Oktober 2014

POLITIK BUDAYA INSTAN

POLITIK BUDAYA INSTAN

Rakyat Indonesia mungkin belum banyak yang tahu ada menu baru berbahan baku politik : yaitu parpol nasdem dan ormas nasdem. Mungkin warga Yogyakarta sedang disuguhi menu tersebut. Semangkin banyak pilihan, malah menimbulkan antipasti utawa simpati. Pemilih pintar, kata petinggi nasdem di Yogyakarta, berharap dapat meraup 300.000 pemilih di 2014.

[TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menggelar konsolidasi untuk kepengurusan partai itu di  DIY. Mereka menyatakan mengincar 300.000 konstituen dari seluruh kabupaten/kota di DIY pada Pemilu 2014. Tribun Jogja - Sabtu, 2 Juli 2011 18:24 WIB].

Yogyakarta dengan seperangkat keistimewaan menjadi daya pikat dan daya tarik bagi kawanan parpolis. Contoh segar, jelang pemilukada walikota Yogyakarta, oknum mantan ketum MPR dengan riang menyodorkan, mengorbitkan, dan mengharbit anaknya : Hanafi Rais, 30 tahun, maju jadi balon walikota. Didampingi cawawali bpk Tri Harjun (birokrat, Sekda DIY). Di atas kertas, pasangan pertama yang mengembalikan formulir yakni Hanafi Rais-Tri Harjun. Mereka mengembalikan formulir pendaftaran Selasa (31/5/2011) diusung 13 gabungan partai politik jumlah total dukungan sebanyak 107.423 suara atau 52,6% dari total suara sah pada saat pemilihan legislatif 2009.

Praduga bung AR sangat sederhana, warga Muhammadiyah dan PAN akan memilih anaknya. Alumni teman sejawat anaknya tanpa diiming-imingi akan berpihak pada anaknya. Keluarga besar PU akan menyumbang suara. Kelompok aparatur negara di kantor Sekda DIY akan menunjuk bossnya. Belum begundalnya bung AR, tanpa diminta akan member.

Orang lupa, sekarang ini masyarakat Nusantara pagi berangkat kerja, sore pulang bawa uang, paling tidak bawa sesatu yang bisa dinikmati sekeluarga. Budaya instan pun merambah ke kawanan parpolis. Pagi dirikan parpol. Sore pulang nenteng kursi. Kalau mungkin beli kursi dikredit harian. Apa guna dirikan parpol kalau tidak bisa borong kursi. Contoh nyata, SBY susun Partai Demokrat yang membawa ke kursi RI-1, bahkan sampai dua periode. Mbak Mega tetap mengkangkangi PDIP (sejak zaman Orde Baru sampai sekarang) dengan segudang asa. Atau tak kepilih jadi ketum parpol, lebih baik dirikan parpol sendiri. Zaman kerja peras keringat sudah bukan musimnya. Peras otak pun untuk bagaimana bisa mengakali orang yang berakal. Tebar janji jelas tidak menjanjikan lagi.


Jadi, dalam politik budaya instan, dengan modal dengkul penghasilan melebihi peras otak.[HaeN]  8 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar