POLITIK BUDAYA INSTAN
Rakyat Indonesia
mungkin belum banyak yang tahu ada menu baru berbahan baku politik : yaitu
parpol nasdem dan ormas nasdem. Mungkin warga Yogyakarta sedang disuguhi menu
tersebut. Semangkin banyak pilihan, malah menimbulkan antipasti utawa simpati.
Pemilih pintar, kata petinggi nasdem di Yogyakarta, berharap dapat meraup
300.000 pemilih di 2014.
[TRIBUNJOGJA.COM,
YOGYA - Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menggelar konsolidasi untuk
kepengurusan partai itu di DIY. Mereka menyatakan mengincar 300.000
konstituen dari seluruh kabupaten/kota di DIY pada Pemilu 2014. Tribun Jogja -
Sabtu, 2 Juli 2011 18:24 WIB].
Yogyakarta dengan
seperangkat keistimewaan menjadi daya pikat dan daya tarik bagi kawanan
parpolis. Contoh segar, jelang pemilukada walikota Yogyakarta, oknum mantan
ketum MPR dengan riang menyodorkan, mengorbitkan, dan mengharbit anaknya :
Hanafi Rais, 30 tahun, maju jadi balon walikota. Didampingi cawawali bpk Tri
Harjun (birokrat, Sekda DIY). Di atas kertas, pasangan pertama yang mengembalikan formulir yakni Hanafi Rais-Tri Harjun.
Mereka mengembalikan formulir pendaftaran Selasa (31/5/2011) diusung 13
gabungan partai politik jumlah total dukungan sebanyak 107.423 suara atau 52,6%
dari total suara sah pada saat pemilihan legislatif 2009.
Praduga bung AR sangat sederhana, warga
Muhammadiyah dan PAN akan memilih anaknya. Alumni teman sejawat anaknya tanpa
diiming-imingi akan berpihak pada anaknya. Keluarga besar PU akan menyumbang
suara. Kelompok aparatur negara di kantor Sekda DIY akan menunjuk bossnya.
Belum begundalnya bung AR, tanpa diminta akan member.
Orang lupa, sekarang ini masyarakat Nusantara
pagi berangkat kerja, sore pulang bawa uang, paling tidak bawa sesatu yang bisa
dinikmati sekeluarga. Budaya instan pun merambah ke kawanan parpolis. Pagi
dirikan parpol. Sore pulang nenteng kursi. Kalau mungkin beli kursi dikredit
harian. Apa guna dirikan parpol kalau tidak bisa borong kursi. Contoh nyata,
SBY susun Partai Demokrat yang membawa ke kursi RI-1, bahkan sampai dua
periode. Mbak Mega tetap mengkangkangi PDIP (sejak zaman Orde Baru sampai
sekarang) dengan segudang asa. Atau tak kepilih jadi ketum parpol, lebih baik
dirikan parpol sendiri. Zaman kerja peras keringat sudah bukan musimnya. Peras
otak pun untuk bagaimana bisa mengakali orang yang berakal. Tebar janji jelas
tidak menjanjikan lagi.
Jadi, dalam politik budaya instan, dengan
modal dengkul penghasilan melebihi peras otak.[HaeN] 8 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar