Halaman

Kamis, 16 Oktober 2014

Kita Adalah Titipan Allah

Sayyid Qutb) ☀ “Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat.” (Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi) ☀ "Ajarkan sastra kepada anak-anak kalian, karena sastra bisa menjadikan yang pengecut menjadi pemberani," Umar bin Khattab. ☀
 Humaniora     Dibaca :234 kali , 0 komentar

Kita Adalah Titipan Allah

 Ditulis : Herwin Nur 14 Oktober 2013 | 10:49
Beban Ganda
Pasangan suami isteri (pasutri) yang belum dikaruniai keturunan, dengan lapang dada merasa belum dipercaya oleh Allah. Anak sebagai titipan, sebagai amanah. Bagi pemuda maupun pemudi yang ragu untuk menikah, bisa masuk kategori tidak percaya pada dirinya sendiri. Allah memberi kemudahan, kelancaran,  khususnya kelapangan rezeki bagi mereka yang menikah sebagai ibadah.
Anak tidak hanya dididik sejak dalam kandungan, kewajiban seorang lelaki untuk mencari calon ibu yang berkualitas. Daftar panjang kewajiban orangtua sudah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Anak memang tidak selamanya ditimang, dipangku maupun dininabobokan. Namanya anak tetap anak,  kendati anak sudah berkeluarga, sudah mempunyai keturunan. Tidak ada bekas anak, bahkan bagi pasutri yang cerai hidup. Posisi kita sebagai anak pun, punya setumpuk urusan kewajiban kepada orangtua.
Saat kita mengembalikan titipan Allah, tentunya dalam kondisi yang “utuh dan bersih”. Anak bisa menuntut balik di akhirat, atau sebaliknya menarik kita menjadi penghuni surga. Bahkan diri kita saat diminta kembali oleh Allah, kondisi kita harus “utuh dan bersih” pula. Jadi, kita sebagai hamba-Nya dengan berbagai peran : sebagai anak, sebagai diri sendiri, sebagai orangtua, mempunyai proses kembali kepada-Nya, jangan dengan tangan kosong.
Langkah Antisipatif
Perbandingan mencolok antara sehari di akhirat sama dengan berapa tahun di dunia, menjadikan waktu singgah kita di dunia begitu singkat. Perjalanan waktu bersifat linier, waktu selalu berlalu dan tak akan kembali. Usia kita selalu bertambah dalam ukuran detik, dalam hitungan detak jantung.
Kehidupan manusia sesuai dengan dinamika tata surya, seolah selalu berulang. Mulai dari subuh sampai subuh berikutnya. Sejak bangun pagi hingga bangun pagi di hari berikutnya. Terhitung matahari terbit menuju fajar berikutnya. Manusia mempunyai kesempatan dan peluang untuk mengulang tindakan dan kesalahan yang sama.
Jangan sampai terjebak pada pengulangan tindakan dan kesalahan yang sama, kita bisa mengacu pada sabdaRasulullah SAW : “Barangsiapa tidur di malam hari dalam keadaan suci (berwudhu’) maka Malaikat akan tetap mengikuti.. lalu ketika ia bangun niscaya Malaikat itu akan berucap ‘Ya Allah ampunilah hamba-Mu si fulan.. karena ia tidur di malam hari dalam keadaan selalu suci’”...(HR Ibnu Hibban dari Ibnu Umar r.a.). Artinya, jelang tidur malam ada beberapa ritual religi yang kita lakoni, termasuk muhasabah.
Makmurkan Umur
Satu tahun kalender tidak sekedar sebagai urutan dan akumulasi waktu 12 bulan, ada awal ada akhir, bahkan secara teknis ada bulan-bulan kritis, secara ritual religi ada bulan kembali ke fitrah.
Memakmurkan setiap tahapan umur dengan ketaatan kepada Allah azza wa Jalla. Waktu berjalan paralel, manusia wajib memanfaatkannya dengan bijak dan cerdas. Rasulullah SAW bersabda : “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, luangmu sebelum sempitmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum fakirmu.” (HR Ahmad).
Secara matematis manusia tidak bisa mengkalkulasi apa saja perolehan hari ini, apakah raihan sesuai rencana, apakah kualitas hidup hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Secara manusiawi, bahkan tidak menyadari apakah segala tindakan dan ucapannya malah menambah argo dosa atau di sisi keyakinan apakah gerakan ritualnya bisa-bisa bisa menggerogoti saldo amal.
Rasulullah SAW mengajarkan ikhtiar memakmurkan umur : Barang siapa yang senang dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijauhkan dari kematian yang buruk, maka hendaklah bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahmi.” (HRImam Bazar, Imam Hakim) [HaeN/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar