Halaman

Rabu, 15 Oktober 2014

TAWA TERAKHIR vs AKHIR TERTAWA

TAWA TERAKHIR vs AKHIR TERTAWA

Melihat atau mendengar sesuatu, yang jauh dari lucu, kita malah bisa tertawa. Tepatnya menertawakan. Termasuk menertawakan diri sendiri. Lucu tapi masuk akal, tak patut ditertawakan, walau menggelikan. Tingkat sensitifitas atas rasa geli antar orang berbeda, bahkan ada yang bertolak belakang atau kontradiksi.

Menonton atraksi di tayangan layar kaca, antara pendemo dengan aparat keamanan main gebuk penonoton tertawa, terlebih diperparah oleh komentar peliputnya. Kebenaran berita tak jadi masalah, yang penting transaksi hiburan.

Terlebih jika kita membaca, mendengar, melihat ada oknum atau kawanan politikus jauh tahun sudah memproklamirkan dirinya sebagai yang nomer satu, yang merasa pantas untuk memimpin bangsa ini. Mungkin kita sudah tidak bisa tertawa lagi, kehabisan stock. Tawa begitu lepas tak akan bisa ditarik, kalau diperbarui lagi mungkin bisa.

Orang bijak bertutur, perajurit tua tak akan pernah mati. Orang timur pandai menyembunyikan perasaan hati.

Walau mengincar yang terujar malah mencecar.
Walau berharap yang terlontar malah kritik ratap.
Walau siap menadah yang meluncur malah fitnah.
Walau menggapai yang terjulur malah umpat gontai.
Walau menghamba yang tertanam bara di dada.
Walau masuk daftar tunggu yang terbesit malah menggerutu
Walau menanti yang tersembur malah caci maki.
Walau siap terkam yang tertelan malah dendam.
Walau seolah tanpa niat yang terolah malah umpat hujat.
Walau seolah menolak yang terbukti malah jadi pembalak.
Walau seolah jadi penurut yang terkata malah ajak hasut.

Walau seolah tanpa basa basi justru yang terjadi menjadi biang korupsi (hn). 12 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar