TAWA
TERAKHIR vs AKHIR TERTAWA
Melihat
atau mendengar sesuatu, yang jauh dari lucu, kita malah bisa tertawa. Tepatnya
menertawakan. Termasuk menertawakan diri sendiri. Lucu tapi masuk akal, tak
patut ditertawakan, walau menggelikan. Tingkat sensitifitas atas rasa geli
antar orang berbeda, bahkan ada yang bertolak belakang atau kontradiksi.
Menonton
atraksi di tayangan layar kaca, antara pendemo dengan aparat keamanan main
gebuk penonoton tertawa, terlebih diperparah oleh komentar peliputnya. Kebenaran
berita tak jadi masalah, yang penting transaksi hiburan.
Terlebih
jika kita membaca, mendengar, melihat ada oknum atau kawanan politikus jauh
tahun sudah memproklamirkan dirinya sebagai yang nomer satu, yang merasa pantas
untuk memimpin bangsa ini. Mungkin kita sudah tidak bisa tertawa lagi,
kehabisan stock. Tawa begitu lepas tak akan bisa ditarik, kalau diperbarui lagi
mungkin bisa.
Orang
bijak bertutur, perajurit tua tak akan pernah mati. Orang timur pandai
menyembunyikan perasaan hati.
Walau mengincar
yang terujar malah mencecar.
Walau berharap
yang terlontar malah kritik ratap.
Walau siap
menadah yang meluncur malah fitnah.
Walau
menggapai yang terjulur malah umpat gontai.
Walau
menghamba yang tertanam bara di dada.
Walau masuk
daftar tunggu yang terbesit malah menggerutu
Walau menanti
yang tersembur malah caci maki.
Walau siap
terkam yang tertelan malah dendam.
Walau seolah
tanpa niat yang terolah malah umpat hujat.
Walau seolah
menolak yang terbukti malah jadi pembalak.
Walau seolah
jadi penurut yang terkata malah ajak hasut.
Walau seolah
tanpa basa basi justru yang terjadi menjadi biang korupsi (hn). 12
Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar