pemilih
menguntungkan penguasa vs pemilih tak dikendaki kehadirannya
Ada-ada
saja bangsa ini ketika berurusan dengan politik. Menguras akal untuk kegiatan
yang tak masuk akal. Merekayasa akal demi sesuatu yang di luar akal. Kurang akal
bisa menggunakan akal orang lain. Agar tampak berakal, tampil dengan gaya
keakal-akalan.
Memang,
kegiatan politik bukan monopoli kaum berakal. Kendati kendaraan politik mampu menjadikan
seseorang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, presiden. Terbukti RI-1
kedua, walau bukan ketua umum parpol dan bukan petugas partai, santai memanfaatkan
Golkar sebagai kendaraan politiknya.
Berpolitik
bukan berarti mendirikan partai politik. Makna politik sesuai zamannya. Tak bisa
dibakukan, walau bisa digeneralisir. Sejarah pergerakan peradaban akhlak
manusia ditunjang dengan tata politik yang cerdas. Dipelopori oleh nabi
Muhammad saw. Kembali ke fitrah manusia dengan rasa ketauhidan, yang mengakui
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, sampai akhir zaman kehidupan manusia.
Apa
itu partai politik Nusntara. Mantan pendiri, bekas ketua umum bahkan oknum
manusia partai yang pernah menjadi RI-1 dan atau RI-2, hanya menjawab
diplomatis. Atau senyum senyumnya orang waras. Biar dikira ahliya yang hemat
bicara. Beda ketika diliput langsung. Jual rasa pengharu dan atau rasa penghiba.
Terbiasa
menghadapi penjajah bangsa asing. Akrab dengan aneka modus, serba rekayasa, varian manipulasi untuk menghadapi lawan
politik. Terasa jelang pilpres 2019. Percaya diri menjadi barang langka. Antara
kaki dan tangan saling mencurigai. Antara tangan kanan dengan tangan kiri,
tidak kompak. Seolah tidak satu kendali otak.
Akal
politik dalam negeri tidak memprakirakan sebaiknya ada pasangan nomor urut 3 (tiga) untuk
pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya atau akibat ‘cacat politik’. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar