Halaman

Rabu, 21 November 2018

pemilih menguntungkan penguasa vs pemilih tak dikendaki kehadirannya

pemilih menguntungkan penguasa vs pemilih tak dikendaki kehadirannya

Ada-ada saja bangsa ini ketika berurusan dengan politik. Menguras akal untuk kegiatan yang tak masuk akal. Merekayasa akal demi sesuatu yang di luar akal. Kurang akal bisa menggunakan akal orang lain. Agar tampak berakal, tampil dengan gaya keakal-akalan.

Memang, kegiatan politik bukan monopoli kaum berakal.  Kendati kendaraan politik mampu menjadikan seseorang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, presiden. Terbukti RI-1 kedua, walau bukan ketua umum parpol dan bukan petugas partai, santai memanfaatkan Golkar sebagai kendaraan politiknya.

Berpolitik bukan berarti mendirikan partai politik. Makna politik sesuai zamannya. Tak bisa dibakukan, walau bisa digeneralisir. Sejarah pergerakan peradaban akhlak manusia ditunjang dengan tata politik yang cerdas. Dipelopori oleh nabi Muhammad saw. Kembali ke fitrah manusia dengan rasa ketauhidan, yang mengakui Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, sampai akhir zaman kehidupan manusia.

Apa itu partai politik Nusntara. Mantan pendiri, bekas ketua umum bahkan oknum manusia partai yang pernah menjadi RI-1 dan atau RI-2, hanya menjawab diplomatis. Atau senyum senyumnya orang waras. Biar dikira ahliya yang hemat bicara. Beda ketika diliput langsung. Jual rasa pengharu dan atau rasa penghiba.

Terbiasa menghadapi penjajah bangsa asing. Akrab dengan aneka modus, serba rekayasa,  varian manipulasi untuk menghadapi lawan politik. Terasa jelang pilpres 2019. Percaya diri menjadi barang langka. Antara kaki dan tangan saling mencurigai. Antara tangan kanan dengan tangan kiri, tidak kompak. Seolah tidak satu kendali otak.

Akal politik dalam negeri tidak memprakirakan sebaiknya ada pasangan nomor urut 3 (tiga) untuk pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya atau akibat ‘cacat politik’. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar