dikotomi revolusi mental,
kebijakan politik vs kebajikan politik
Pelaku politik Nusantara,
khususnya agen dan antek koalisi pro-pemerintah sedang dalam proses mengalami kepribadian terbelah (split personality). Betapa
tidak, kontrak politik lima tahun menyebabkan para oknum harus pandai-pandai
mempertahankan posisi dan kursinya sebagai penyelenggara negara. Jangan sampai
dijagal dan dijegal ditengah jalan. Jangan sampai tersangkut dan masuk status
tersangka tipikor.
Harus pandai-pandai memainkan watak
politik, menyeimbangkan diri antara membawakan kebijakan politik dengan seolah
santun, bermartabat, ikhlas dengan keahlian mencari celah untuk mensejahterakan
diri.
Harus pandai-pandai mematut diri yang
sedang kebagian sebagai wakil rakyat agar dikira berjuang mati-matian, tampil
berani malu di acara, atraksi, agenda media TV swasta, atau berkomentar di
balik layar agar tampak cerdas, dengan tujuan tampak layak membela,
mengutamakan, mengedepankan kepentingan, kebutuhan rakyat. Walau di sidang DPR
tampak miskin bicara, yang penting tidak miskin dunia, apa arti lima tahun
untuk seumur hidup.
Politik adalah cara merebut kekuasaan
secara legal, konstitusional dan dilindungi hukum. Politik adalah bahasa resmi
mempertahankan berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) sesuai UUD 1945, dari
hulu hingga hilir, dari dahulu tanpa akhir. Politik tidak mengenal diskriminasi gender. Bahkan di tangan kaum
hawa, perempuan, wanita, muncul aliran politik pengharu-rasa. Mencampuradukkan
realitas dengan angan-angan kosong. Atau dipihak lain gender,
memporakperandakan persatuan dengan orasi ora ilmiah agar dikira pemikir dan
pemakar yang peduli, peka, tanggap penderitaan rakyat.
Bermain politik harus lebih lihai
dibanding modus operandi, tipu daya, bujuk rayu, hasut dengki setan dalam
menyesatkan manusia. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar