Halaman

Minggu, 10 Januari 2016

dikotomi revolusi mental, kebijakan politik vs kebajikan politik

dikotomi revolusi mental, kebijakan politik vs kebajikan politik

Pelaku politik Nusantara, khususnya agen dan antek koalisi pro-pemerintah sedang dalam proses mengalami kepribadian terbelah (split personality). Betapa tidak, kontrak politik lima tahun menyebabkan para oknum harus pandai-pandai mempertahankan posisi dan kursinya sebagai penyelenggara negara. Jangan sampai dijagal dan dijegal ditengah jalan. Jangan sampai tersangkut dan masuk status tersangka tipikor.

Harus pandai-pandai memainkan watak politik, menyeimbangkan diri antara membawakan kebijakan politik dengan seolah santun, bermartabat, ikhlas dengan keahlian mencari celah untuk mensejahterakan diri.

Harus pandai-pandai mematut diri yang sedang kebagian sebagai wakil rakyat agar dikira berjuang mati-matian, tampil berani malu di acara, atraksi, agenda media TV swasta, atau berkomentar di balik layar agar tampak cerdas, dengan tujuan tampak layak membela, mengutamakan, mengedepankan kepentingan, kebutuhan rakyat. Walau di sidang DPR tampak miskin bicara, yang penting tidak miskin dunia, apa arti lima tahun untuk seumur hidup.

Politik adalah cara merebut kekuasaan secara legal, konstitusional dan dilindungi hukum. Politik adalah bahasa resmi mempertahankan berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) sesuai UUD 1945, dari hulu hingga hilir, dari dahulu tanpa akhir. Politik tidak mengenal  diskriminasi gender. Bahkan di tangan kaum hawa, perempuan, wanita, muncul aliran politik pengharu-rasa. Mencampuradukkan realitas dengan angan-angan kosong. Atau dipihak lain gender, memporakperandakan persatuan dengan orasi ora ilmiah agar dikira pemikir dan pemakar yang peduli, peka, tanggap penderitaan rakyat.

Bermain politik harus lebih lihai dibanding modus operandi, tipu daya, bujuk rayu, hasut dengki setan dalam menyesatkan manusia. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar