belajar politik dari abang tukang jual tapai singkong
Abang tukang jual tapai singkong
di perumahan saya ada 3 jenis berdasarkan moda angkutannya. Pertama, memakai
gerobak dorong. Kedua, memakai gerobak becak dikayuh. Ketiga, memakai motor.
Persamaannya sama-sama teriak :”Tapee” dan membawa timbangan. Mereka tidak
punya pelanggan tetap. Anak sekolah pulang jalan kaki, berpasasan, ada juga
yang beli. Dimakan sambil jalan pulang. Atau bapak-bapak yang karena usia
menjadi penggemar barang lunak. Tak kurang karena nostalgia dengan makanan
jadul.
Abang tukang jual tapai singkong
yang sering saya beli adalah yang kayuh gerobak becak. Bukan karena jualannya
santai, teriak apa adanya, atau timbangannya panas, jarum timbangan tidak pas
diangka. Tidak pelit. Bukan juga karena tongkrongannya tidak mirip abang tukang
jual. Atau mungkin jualannya seperti ada musimnya. Walau penjual yang lain
tetap aktif.
Abang tukang jual tapai singkong
yang satu ini ketika tidak ada kesibukan di sawahnya, alih profesi sementara menjadi
penjual tapai singkong. Bukan olahan sendiri, tapi ambil borongan di juragan
tapai di pasar tradisional. Sebagai petani tentunya tak jauh dari imbas, ekses,
dampak kebijakan pemerintah tentang ketahanan pangan. Bisa akses ke kota,
menjadi melek politik, walau dengan nalar lokalnya.
Berita dan cerita ini saya
rangkai, karena pernah suatu ketika saya tanya, mengapa tidak pilih motor.
Rentetan jawaban dan komentar lainnya, menjadikan saya sebagai pendengar yang
baik. Sesekali memberi umpan.
“Kalau naik motor, mblandang
saja, banyak pembeli tak sempat panggil, sudah jauh”, jawaban pertamanya atau
bahkan satu-satunya jawaban. Yang lain bersifat uneg-unegnya, tapi tak terkait
dengan ketahanan pangan.
Hasil uneg-unegnya, karena
memakai bahasa Jawa, saya terjemahbebaskan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi :
Itu, pemerintah atau politik,
maunya mblandang. Tidak mau melihat kebutuhan rakyat apa. Kalau sudah
ngebut, tidak pada lihat spedo, asal tancap gas. Main salib-saliban. Mau belok,
gak pakai sen, belok begitu saja. Kalau perlu motong njegal lawan yang mau
nyalib. Gak pakai spion, asal berhenti. Kalau sudah kacau, malah saling
berantem. Rakyat seperti saya ini, jadi korban. Untung saya pas jadi tani tidak
untung, ya jualan tapai seperti sekarang. Anak sekolah beli seribu rupiah, saya
layani.
“Kalau bapak beli tapai saya, jangan
setengah kilo, minimal satu kilo” kata penutupnya. Saya biasanya memang beli
setengah kilo, karena dimakan sendiri.
Ternyata tidak dari abang tukang
jual tapai singkong yang mempunyai filosofi kehidupan. Abang tukang jual nasi
goreng punya sumbang saran yang berklas. Bahkan pernah saya jadikan tulisan,
betapa penjaga malam RT bertutur tentang falsafah buah kelapa. Kalau pembaca
berminat, akan saya tayang ulang. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar