Halaman

Rabu, 20 Januari 2016

belajar politik dari abang tukang jual tapai singkong

belajar politik dari abang tukang jual tapai singkong

Abang tukang jual tapai singkong di perumahan saya ada 3 jenis berdasarkan moda angkutannya. Pertama, memakai gerobak dorong. Kedua, memakai gerobak becak dikayuh. Ketiga, memakai motor. Persamaannya sama-sama teriak :”Tapee” dan membawa timbangan. Mereka tidak punya pelanggan tetap. Anak sekolah pulang jalan kaki, berpasasan, ada juga yang beli. Dimakan sambil jalan pulang. Atau bapak-bapak yang karena usia menjadi penggemar barang lunak. Tak kurang karena nostalgia dengan makanan jadul.

Abang tukang jual tapai singkong yang sering saya beli adalah yang kayuh gerobak becak. Bukan karena jualannya santai, teriak apa adanya, atau timbangannya panas, jarum timbangan tidak pas diangka. Tidak pelit. Bukan juga karena tongkrongannya tidak mirip abang tukang jual. Atau mungkin jualannya seperti ada musimnya. Walau penjual yang lain tetap aktif.

Abang tukang jual tapai singkong yang satu ini ketika tidak ada kesibukan di sawahnya, alih profesi sementara menjadi penjual tapai singkong. Bukan olahan sendiri, tapi ambil borongan di juragan tapai di pasar tradisional. Sebagai petani tentunya tak jauh dari imbas, ekses, dampak kebijakan pemerintah tentang ketahanan pangan. Bisa akses ke kota, menjadi melek politik, walau dengan nalar lokalnya.

Berita dan cerita ini saya rangkai, karena pernah suatu ketika saya tanya, mengapa tidak pilih motor. Rentetan jawaban dan komentar lainnya, menjadikan saya sebagai pendengar yang baik. Sesekali memberi umpan.

“Kalau naik motor, mblandang saja, banyak pembeli tak sempat panggil, sudah jauh”, jawaban pertamanya atau bahkan satu-satunya jawaban. Yang lain bersifat uneg-unegnya, tapi tak terkait dengan ketahanan pangan.

Hasil uneg-unegnya, karena memakai bahasa Jawa, saya terjemahbebaskan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi :

Itu, pemerintah atau politik, maunya mblandang. Tidak mau melihat kebutuhan rakyat apa. Kalau sudah ngebut, tidak pada lihat spedo, asal tancap gas. Main salib-saliban. Mau belok, gak pakai sen, belok begitu saja. Kalau perlu motong njegal lawan yang mau nyalib. Gak pakai spion, asal berhenti. Kalau sudah kacau, malah saling berantem. Rakyat seperti saya ini, jadi korban. Untung saya pas jadi tani tidak untung, ya jualan tapai seperti sekarang. Anak sekolah beli seribu rupiah, saya layani.

“Kalau bapak beli tapai saya, jangan setengah kilo, minimal satu kilo” kata penutupnya. Saya biasanya memang beli setengah kilo, karena dimakan sendiri.

Ternyata tidak dari abang tukang jual tapai singkong yang mempunyai filosofi kehidupan. Abang tukang jual nasi goreng punya sumbang saran yang berklas. Bahkan pernah saya jadikan tulisan, betapa penjaga malam RT bertutur tentang falsafah buah kelapa. Kalau pembaca berminat, akan saya tayang ulang. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar