Halaman

Kamis, 23 Januari 2014

GAGAL GINJAL vs GAGAL MORAL



Jumat, 09/01/2009 07:25
GAGAL GINJAL vs GAGAL MORAL
Dengung dan denging reformasi yang dikumandangkan Mei 1998 masih terasa di gendang telinga kita. Dukungan rakyat sangat dominan, karena menginginkan adanya perubahan. Reformasi bergulir hampir di setiap tatanan dan tataran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Puncak gelombang Reformasi adalah pada saat lengser keprabon RI-1, Bapak Pembangunan H.M. Soeharto, 21 Mei 1998. Politikus utawa politisi sipil telah menyatu dengan bisnis, menjadi pebisnis politik.

Menimbang, mengukur maupun menakar kadar utawa kualitas kawanan kader parpol jangan dengan kaca mata moral. Jangan pula dengan bahasa yang santun atau tata karma ketimuran. Satu dasawarsa Reformasi menggelinding dan menggelundung, ternyata ibarat main sepak bola, memang telah terjadi pergantian pemain inti secara radikal dan memang hanya ganti posisi dan peran. Supaya terlihat telah terjadi perubahan, pemain cadangan di era Orde Baru diturunkan. Diturunkan dari bangku cadangan dan diganti oleh pemain cadangan antrian berikutnya. Dalam kondisi nyata, Golkar telah ganti kulit menjadi Partai Golongan Karya. Sempalannya sibuk mendirikan parpol mulai tahun 1999, 2005 dan 2008. Sistem arisan diberlakukan antar jiwa dan roh Orde Baru, baik di kalangan militer maupun di lingkungan sipil. Di era Orba, kawanan politisi yang tidak kebagian peran karena masalah umur utawa usia, maka pada tahun 2009 mereka rata-rata di atas umur dan merasa layak untuk mengendalikan Nusantara.

Upaya perintisan dimulai dari mendirikan partai politik, mengkoordinir massa dalam unjuk raga menentang kebijakan pemerintah, aktif di berbagai kegiatan dan kesempatan yang ditayangkan media massa sampai mempersiapkan diri secara sistematis dan elegan. Jadi perlu satu generasi untuk mendapatkan bibit unggul, bibit yang tidak terkontaminasi oleh KKN. Itu pun dengan syarat Nusantara harus bersatu, lebih mementingkan kebersamaan. Sejarah yang gemilang bisa kita ulang kita rangkau ulang kembali. Kita tak perlu malu mengakui kegagalan. Setiap akhir tahun atau jelang tahun baru kita lakukan evaluasi diri. Terjadi kegagalan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bernegara.

Kegagalan para penyelenggara negara, faktor penyebabnya ditentukan atau dipengaruhi oleh gagal moral. Gagal moral ibarat nila setitik, susu tetangga ikut rusak. Banyak juga yang berhasil, atau minimal berjuang tanpa pamrih. Namun apa daya, ingin bersih dalam lingkungan yang kotor. Jangan sampai seperti tikus mati dalam lumbung. Semula hanya ingin tahu, sedikit coba, akhirnya susah untuk naik ke darat. Atau untuk masuk jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif perlu modal. Memang untuk naik derajat, naik pangkat, naik martabat, naik panggung seolah di NKRI ini tak ada yang gratis. Perlu biaya ekstra. Bahkan untuk menyalip barisan pun, untuk menjadi nomer urut jadi sebagai caleg sebelum ditetapkan pilihan berdasarkan suara terbanyak, bukan pasal yang mudah apalagi murah.

Banyak orang berani mati, berjibaku, menabrak diri, bahkan menghancurkan diri ke tumpukan rupiah. Secara logika walau usia pensiun sampai 100 tahun belum tentu gaji, tunjangan, honor sampai sejumlah hitungan milyard. Sebagai anggota dewan, duduk saja uang yang datang. Apa harus ditolak kalau sudah rejeki. Gagal ginjal sebagai salah satu penyakit akibat salah sendiri, cobaan dari Yang Maha Kuasa, sebagai sarana untuk menghadap-Nya. Dengan sakit maka sebagian dosa kita akan diampuni oleh Allah swt. Kalau gagal moral (herwin nur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar