Jumat,
09/01/2009 07:25
GAGAL GINJAL vs GAGAL MORAL
Dengung dan denging reformasi yang
dikumandangkan Mei 1998 masih terasa di gendang telinga kita. Dukungan rakyat
sangat dominan, karena menginginkan adanya perubahan. Reformasi bergulir hampir
di setiap tatanan dan tataran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Puncak
gelombang Reformasi adalah pada saat lengser keprabon RI-1, Bapak Pembangunan
H.M. Soeharto, 21 Mei 1998. Politikus utawa politisi sipil telah menyatu dengan
bisnis, menjadi pebisnis politik.
Menimbang, mengukur maupun menakar
kadar utawa kualitas kawanan kader parpol jangan dengan kaca mata moral. Jangan
pula dengan bahasa yang santun atau tata karma ketimuran. Satu dasawarsa
Reformasi menggelinding dan menggelundung, ternyata ibarat main sepak bola,
memang telah terjadi pergantian pemain inti secara radikal dan memang hanya
ganti posisi dan peran. Supaya terlihat telah terjadi perubahan, pemain
cadangan di era Orde Baru diturunkan. Diturunkan dari bangku cadangan dan
diganti oleh pemain cadangan antrian berikutnya. Dalam kondisi nyata, Golkar
telah ganti kulit menjadi Partai Golongan Karya. Sempalannya sibuk mendirikan
parpol mulai tahun 1999, 2005 dan 2008. Sistem arisan diberlakukan antar jiwa
dan roh Orde Baru, baik di kalangan militer maupun di lingkungan sipil. Di era
Orba, kawanan politisi yang tidak kebagian peran karena masalah umur utawa
usia, maka pada tahun 2009 mereka rata-rata di atas umur dan merasa layak untuk
mengendalikan Nusantara.
Upaya perintisan dimulai dari
mendirikan partai politik, mengkoordinir massa dalam unjuk raga menentang
kebijakan pemerintah, aktif di berbagai kegiatan dan kesempatan yang
ditayangkan media massa sampai mempersiapkan diri secara sistematis dan elegan.
Jadi perlu satu generasi untuk mendapatkan bibit unggul, bibit yang tidak
terkontaminasi oleh KKN. Itu pun dengan syarat Nusantara harus bersatu, lebih
mementingkan kebersamaan. Sejarah yang gemilang bisa kita ulang kita rangkau
ulang kembali. Kita tak perlu malu mengakui kegagalan. Setiap akhir tahun atau
jelang tahun baru kita lakukan evaluasi diri. Terjadi kegagalan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bernegara.
Kegagalan para penyelenggara negara,
faktor penyebabnya ditentukan atau dipengaruhi oleh gagal moral. Gagal moral
ibarat nila setitik, susu tetangga ikut rusak. Banyak juga yang berhasil, atau
minimal berjuang tanpa pamrih. Namun apa daya, ingin bersih dalam lingkungan
yang kotor. Jangan sampai seperti tikus mati dalam lumbung. Semula hanya ingin
tahu, sedikit coba, akhirnya susah untuk naik ke darat. Atau untuk masuk
jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif perlu modal. Memang untuk naik
derajat, naik pangkat, naik martabat, naik panggung seolah di NKRI ini tak ada
yang gratis. Perlu biaya ekstra. Bahkan untuk menyalip barisan pun, untuk
menjadi nomer urut jadi sebagai caleg sebelum ditetapkan pilihan berdasarkan
suara terbanyak, bukan pasal yang mudah apalagi murah.
Banyak orang berani mati, berjibaku,
menabrak diri, bahkan menghancurkan diri ke tumpukan rupiah. Secara logika
walau usia pensiun sampai 100 tahun belum tentu gaji, tunjangan, honor sampai
sejumlah hitungan milyard. Sebagai anggota dewan, duduk saja uang yang datang.
Apa harus ditolak kalau sudah rejeki. Gagal ginjal sebagai salah satu penyakit
akibat salah sendiri, cobaan dari Yang Maha Kuasa, sebagai sarana untuk
menghadap-Nya. Dengan sakit maka sebagian dosa kita akan diampuni oleh Allah
swt. Kalau gagal moral (herwin nur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar