memulihkan daya ideologi anak bangsa pribumi pasca
Pihak peserta aktif pemilu serentak 17 April 2019, sudah
siap dengan hasil terpahit. Tak ada yang menang maupun tak ada yang kalah.
Pihak yang merasa dirugikan adalah pemilih yang salah pilih. Pemilih pemula
pasca 17 April 2019, baru melek poitik. Terbuka mata batin, mata hati. Sejauh ini
terselamur, terkelabui hidup-hidup dengan semboyan, slogan, jargon politik. Nyatanya.
Pihak yang sukses secara politis belum tentu untung secara ekonomis. Sebaliknya. Atau
kombinasi. Atau ada pasal yang tabu buat pemilih atau rakyat pada umumnya. Sudah
layak diduga. Judul “Indonesia datang tahun politik, konsultan asing vs
skenario asing” hanya sinyal belaka.
Memang demikianlah adanya. Manusia politik Nusantara,
sebangkotan-bangkotannya, masih kalah dengan sentuhan plitik manusia ekonomi klas
multinasional dan atau kasta semiglobal. Stigma presiden 2014-2019 hanya
sebagai petugas partai. Bukti ringan yang tak layak disangkal. Sing waras ngalah.
Geopolitik, binatang apakah itu? Yang jelas ada nyata di
Nusantara adalah peta politik. Nyaris identik dengan dapil. Lebih dari itu,
menjadi PR abadi bangsa dan generasi. Acap saya olahkatakan betapa merahnya
Sang Merah Putih kian membara. Harimaumu, moncongmu. Moncong berbuih-buih,
sigap memerahkan Nusantara.
Generasi yang mengorbangkan dirinya, menggadaikan jiwanya
demi kebebasan ujung jari. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar