Halaman

Sabtu, 09 Februari 2019

pencemaran nama baik vs pendongkrakan citra diri

pencemaran nama baik vs pendongkrakan citra diri

Peribahasa ‘ular menyusur akar’, selain tidak familiar. Dianggap meledek martabat manusia.

Lazim jika anak manusia penyuka nasi, lebih gemar menu khusus afair atau sajian spesial skandal (KBBI: skandal n perbuatan yg memalukan; perbuatan yg menurunkan martabat seseorang). Koruptor tak merasa turun gengsi dengan rompi oranye. Masuk tim khusus Tahanan KPK.

Awak media masa banyak yang tahu kesempatan. Suka-suka menayangkan langsung warga binaan tipikor yang sedang “nyanyi”, buka kartu. Tidak mau diri jadi kambing hitam. Kolektif kolegial menjadi asas gotong royong versi politik.

Begini katanya, ceritanya. Efektivitas, kemanfaatan revolusi mental – tak ada korelasi dengan episode Cicak vs Buaya – tak sengaja membuat kedudukan dan keutuhan manusia. Jelasnya tak ada hubungan diplomatis dengan pasal sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan maupun bahasa hukum muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Mental yang mana dimana manusia mampu mengoptimalkan potensi daya kinerja otak serta memfungsikan rasa hak pilih. Sejauh ini banyak pariwara di layar kaca. Promo produk anyar, barang baru. Hadapi pesaing. Modal menjelekkan produk lain dengan gaya membandingkan. Saraf pemirsa diajak adu gengsi. Diramu dengan harga murah sesuai kualitas dan stok terbatas.

Hukum moral ketimuran mengatakan, sudah menjadi pakem. Kebaikan atau hal yang baik. Tak perlu diomomg-omongkan apalagi diobral kuras gudang. Nama baik berkat isi hati yang baik. Asupan gizi tidak sekedar sehat dan menyehatkan. Kelakuan anak manusia. Terbentuk secara biologis dan lingkungan hidup.

Kendati peribahasa atau fakta dan data berujar ‘apa lacur sudah jadi pelacur’ tidak membuat ybs rendah hati, malu apalagi terkait norma moral. Mendongkrak tarif bawah. Berkat promosi gratis. Tak ada malunya jika saya pernah berolahkata dengan teknis perbandingan “elektabilitas PSK vs popularitas capres petahana”.

 Kita manusia tak bisa mengukur kadar martabat diri. Faktor penentu kedudukan dan keutuhan manusia acap termanipulasi sejak dini. Bukan kurang ilmu kehidupan. Akibat dimanja alam. [HaéN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar