Halaman

Rabu, 27 Februari 2019

Dasamuka turun gunung, perang total vs tawuran kolosal


Dasamuka turun gunung, perang total vs tawuran kolosal

Penyuka komik, cerita wayang. Pemirsa beberan wayang kulit. Penikmat pagelaran wayang orang. Menginspirasi budaya dan modus anak wayang Nusantara. Sosok rakyat yang nasibnya terlunta-lunta. Puas terwakili tokoh penumpas angkara murka. Bangga jika melihat pujaannya selalu menang perang tanding. Bukan model keroyokan. Apalagi perang kata, perang urat syaraf, sarat ujaran penistaan, kebodohan diri.

Bagi tokoh penguasa, semakin merasa digdaya jika punya ajian pamungkas. Merasa pilih tanding karena memegang senjata andalan. Merasa berwibawa karena hafal mantra politik.

Ramayana dan Mahabharata menjadi rujukan wayang. Tampilan disuaikan dengan budaya lokal. Karakter tokoh antar daerah, antar versi tak beda jauh. Beda jam terbang. Nama tokoh bisa dicomot sesuai nama orang yang menunjukkan suku, marga.

Jika terjadi perang. Bisa seperti manusia main catur. Asal Raja skak, perang tak berlarut-larut. Bidak hitam maupun bidak putih tak mewakili watak. Bisa juga perang akan surut jika sudah tidak ada lagi satria, petugas partai yang sigap libas lawan.

Perang ala wayang, tampak konvensional. Perajurit melawan serdadu. Senjata jarak jauh sudah dikenal. Lokasi perang ditentukan, bukan di jalanan. Malam hari untuk istirahat. Dukun pengkebal, pentebal muka sudah jamak. Tapabrata menjadi kisah sukses untu menjadi orang baik. Mirip masuk partai politik.

Agar terjadi episode. Bak “Buaya vs Cicak”. Peran tanding, siapa melawan siapa, menjadi menu utama. Dicarikan lawan yang seimbang. Yang belum berpengalaman, atau masih dalam masa diklat partai, karena turunan. Bisa turun ke palagan. Adu taktik antar pelatih.

Kapan perang berakhir. Ingat bak kapal laut terbakar. Maka petinggi kapal sebagai pihak terakhir yang menyelamatkan diri. Kalau mau. Secara protokoler, kondisi darurat, maka petugas partai diprioritaskan diselamatkan sejak dini. Tidak analog dengan tingkat kesejahteraan tujuan utama pembangunan.

Pakai acuan Rahwana. Ketika paman patih, panglima, jawara, jagoan, keluarga besar sudah masuk kotak. Bahkan petarung transfer atau tentara sewaan, sudah angkat bendera putih. Buang handuk. Mau tak mau, demi proses cerita. Rahwana maju perang.

Wayang Nusantara, ternyata Rahwana masih punya cadangan loyalis. Rekam jejak mereka di bidang pertahanan dan keamanan, menjadi harapan terakhir. Modus apa pun selama masih dalam satu periode, sah secara hukum dan konstitusional.

Beda pasal. Bukan siapa melawan siapa. Lebih ke penawaran bergensi, siapa sanggup mengalahkan siapa. NPWP sudah usang. Modal dengkul minta imbalan kursi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar