Dasamuka turun gunung, perang total vs tawuran kolosal
Penyuka komik, cerita wayang. Pemirsa beberan wayang kulit. Penikmat pagelaran
wayang orang. Menginspirasi budaya dan modus anak wayang Nusantara. Sosok rakyat
yang nasibnya terlunta-lunta. Puas terwakili tokoh penumpas angkara murka. Bangga
jika melihat pujaannya selalu menang perang tanding. Bukan model keroyokan. Apalagi
perang kata, perang urat syaraf, sarat ujaran penistaan, kebodohan diri.
Bagi tokoh penguasa, semakin merasa digdaya jika punya ajian pamungkas. Merasa
pilih tanding karena memegang senjata andalan. Merasa berwibawa karena hafal mantra
politik.
Ramayana dan Mahabharata menjadi rujukan wayang. Tampilan disuaikan dengan
budaya lokal. Karakter tokoh antar daerah, antar versi tak beda jauh. Beda jam
terbang. Nama tokoh bisa dicomot sesuai nama orang yang menunjukkan suku,
marga.
Jika terjadi perang. Bisa seperti manusia main catur. Asal Raja skak,
perang tak berlarut-larut. Bidak hitam maupun bidak putih tak mewakili watak. Bisa
juga perang akan surut jika sudah tidak ada lagi satria, petugas partai yang
sigap libas lawan.
Perang ala wayang, tampak konvensional. Perajurit melawan serdadu. Senjata jarak
jauh sudah dikenal. Lokasi perang ditentukan, bukan di jalanan. Malam hari
untuk istirahat. Dukun pengkebal, pentebal muka sudah jamak. Tapabrata menjadi
kisah sukses untu menjadi orang baik. Mirip masuk partai politik.
Agar terjadi episode. Bak “Buaya vs Cicak”. Peran tanding, siapa melawan
siapa, menjadi menu utama. Dicarikan lawan yang seimbang. Yang belum berpengalaman,
atau masih dalam masa diklat partai, karena turunan. Bisa turun ke palagan. Adu
taktik antar pelatih.
Kapan perang berakhir. Ingat bak kapal laut terbakar. Maka petinggi kapal
sebagai pihak terakhir yang menyelamatkan diri. Kalau mau. Secara protokoler,
kondisi darurat, maka petugas partai diprioritaskan diselamatkan sejak dini. Tidak
analog dengan tingkat kesejahteraan tujuan utama pembangunan.
Pakai acuan Rahwana. Ketika paman patih, panglima, jawara, jagoan, keluarga
besar sudah masuk kotak. Bahkan petarung transfer atau tentara sewaan, sudah angkat
bendera putih. Buang handuk. Mau tak mau, demi proses cerita. Rahwana maju
perang.
Wayang Nusantara, ternyata Rahwana masih punya cadangan loyalis. Rekam jejak
mereka di bidang pertahanan dan keamanan, menjadi harapan terakhir. Modus apa
pun selama masih dalam satu periode, sah secara hukum dan konstitusional.
Beda pasal. Bukan siapa melawan siapa. Lebih ke penawaran bergensi, siapa
sanggup mengalahkan siapa. NPWP sudah usang. Modal dengkul minta imbalan kursi.
[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar