rumangsa mélu handarbéni negara, aja ngakèhi vs aja ngabèhi
Betul. Memang tak layak, tidak pantas, kurang patut sosok
rakyat bincang soal negara. Ahli yang merasa mampu urus negara, melebihi kuota.
Mulai dari oknum mantan kepala negara sampai petugas partai. Tak ada rasa
kapok.
Ngomongin
tentang negara tanpa ilmu, bisa-bisa bisa kuwalat.
Judul mencuplik Tri Darma, menjadi milik umum. Saking umumnya
di kuping wong Jawa. Soal maknanya anggap sekedar tahu saja. Tiap orang bisa
menghasilkan lebih dari satu penafsiran. Begitu pula penulis maupun pemirsa.
Bahasa gaulnya adalah rumongso melu handuwéni. Akan lebih mengena, cocok, pas di hati. Dimaksudkan dengan
ungkapan filosofi Jawa ‘gedhé rumangsa’. Bergser
sedikit ke makna rumongso biso.
Anak cucu ideologis tak ada kapoknya, tak ada matinya. Kalau
sudak duduk lupa berdiri. Sampai efek domino negara multipartai. Pemerintah bayangan
di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Wujud nyata demokrasi
liwat pilkada serentak, pemilu serentak menhasilkan juara umum menyabet semua
kursi.
Baik buruk tergantung perolehan suara. Unggul lebih 1
(satu) suara, sah dianggap sebagai juara umum, pemenang utama. Otomatis punya hak
atas nasib bangsa dan negara selama lima tahun ke depan.
Menemukan timnas kesebelasan, menjadi catatan sejarah. Ikhtiar
segala jurus kurang apa. Sampai penguasa sipil dan atau militer melakukan
tindak turun tangan.
Masalah demokrasi menjadikan susu setitik jelas tak berdaya
menghadapi nila sebelanga. Doa rakyat langsung mengetuk pintu langit. Sigap bangkit
pasca 17 April 2019. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar