Halaman

Minggu, 17 Februari 2019

rumangsa mélu handarbéni negara, aja ngakèhi vs aja ngabèhi


rumangsa mélu handarbéni negara, aja ngakèhi vs aja ngabèhi

Betul. Memang tak layak, tidak pantas, kurang patut sosok rakyat bincang soal negara. Ahli yang merasa mampu urus negara, melebihi kuota. Mulai dari oknum mantan kepala negara sampai petugas partai. Tak ada rasa kapok.

Ngomongin tentang negara tanpa ilmu, bisa-bisa bisa kuwalat.

Judul mencuplik Tri Darma, menjadi milik umum. Saking umumnya di kuping wong Jawa. Soal maknanya anggap sekedar tahu saja. Tiap orang bisa menghasilkan lebih dari satu penafsiran. Begitu pula penulis maupun pemirsa.

Bahasa gaulnya adalah rumongso melu handuwéni. Akan lebih mengena, cocok, pas di hati. Dimaksudkan dengan ungkapan filosofi Jawa ‘gedhé rumangsa’. Bergser sedikit ke makna rumongso biso.

Anak cucu ideologis tak ada kapoknya, tak ada matinya. Kalau sudak duduk lupa berdiri. Sampai efek domino negara multipartai. Pemerintah bayangan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Wujud nyata demokrasi liwat pilkada serentak, pemilu serentak menhasilkan juara umum menyabet semua kursi.

Baik buruk tergantung perolehan suara. Unggul lebih 1 (satu) suara, sah dianggap sebagai juara umum, pemenang utama. Otomatis punya hak atas nasib bangsa dan negara selama lima tahun ke depan.

Menemukan timnas kesebelasan, menjadi catatan sejarah. Ikhtiar segala jurus kurang apa. Sampai penguasa sipil dan atau militer melakukan tindak turun tangan.

Masalah demokrasi menjadikan susu setitik jelas tak berdaya menghadapi nila sebelanga. Doa rakyat langsung mengetuk pintu langit. Sigap bangkit pasca 17 April 2019. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar