Halaman

Rabu, 27 Februari 2019

Indonesia darurat akal sehat


Indonesia darurat akal sehat

Masuk akal. Profesi atau keahlian, keterampilan tangan  masyarakat papan bawah karena warisan, sebut saja pemulung. Persaingan walau sudah ada pembagian wilayah. Beroperasi antar bak sampah rumah tangga. Saat manusia masih sigap lelap malam.

Bungkus plastik isi sampah dapur, tetap digancu. Sudah ngablak bersaing dengan kucing, anjing, tikus. Beda target sasaran. Layaknya partai politik, atau minimal ormas. Pemulung mempunyai markas, bos pemulung. Agen ganda, merangkap pengepul B3.

Pemulung jelas tidak masuk kategori penyakit masyarakat. Produktivitas bersaing dengan anjal. Efektivitas tidak mampu bersaing dengan prostitusi artis online.

Secara umum, manusia sosial Nusantara melakoni hidup harian, tak perlu pikir. Semua tahapan dilakoni rutin, tipikal, seperti kemarin. Mengulangi adegan drama yang tak bisa dipercepat, dipadatkan waktunya. Kalau masih ada esok, tak perlu bersegera.

Meningkat atau bergeser ke modus manusia ekonomi dan manusia politik.

Manusia ekonomi, pengusaha lokal, multinasional, subglobal, jelas harus pandai main akal-akalan. Pakai dalil manusia politik, téga tidak téga harus mégatéga.

Bagamana dengan penggunaan akal pada manusia politik. Apakah ada perbedaan antara politisi sipil dengan pegiat parpol mantan angkatan. Beda jam terbang latar belakang. Beda nyali. Beda aneka ujaran. Lebih piawai memadupadankan hujat dengan jilat. Akal yang iya-iya sampai akal yang tidak-tidak sudah dipraktikkan. Terlebih saat praktik pertahanan. Bertahan yang baik dan benar adalah dengan melakukan serangan.

Soal keamanan, sesuai jargon politik. Semua bisa diatur. Atas bisa dielus-elus, bawah tinggal mendengus, kementus.

Jadi, kata rakyat, pihak yang diharapkan menggunakan akalnya, untuk tanah air. Sigap perang total. Musuhé sopo mbokdé mukiyo. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar