sigap laju kaki, stabilitas emosi plus peka lingkungan
Ketetapan, kepastian perjalanan waktu yang ditentukan
oleh tugas dan fungsi matahari. Berbanding lurus dengan pertambahan berat
timbangan amal. Ikhwal yang berbanding terbalik, dimitigasi. Jangan sampai usia
menjadi bahan baku renta.
Angka harapan hidup dengan catatan. Kegiatan silaturahmi
menjadi dalil utama panjang umur. Kunjungan saling menjalin ingatan masa lalu
dan saling mengingatkan masa depan. Bertemu dan berpisahnya dua anak manusia
semata karena Allah swt.
Ridho-Nya dengan menggerakkan hati kita. Pernah saya
berolah kata “bernafas pun, kalau tidak dengan ridho-Nya”. Menyangkut kisahku “kiat
jalan kaki cepat sambil ingat kematian”. Wajar, kalau jalan kaki demi silaturahmi –
dengan alam – seolah harus egois. Jalan cepat, fokus ke depan. Bukan jalan
gemulai, jalannya pria tulang lunak.
Jalannya priyayi jalan. Menginjak telek bebek saja, tetap utuh, tidak penyek. Tapi daya gilas tiada tanding. Siap libas sesuai
skenario pemodal. Tambah tinggi kursi, kian téganya-téganya.
Kembali ke judul.
Berjalan di bahu jalan pun tak nyaman. Trotoar atau tutup
drainase, kian tambah waspada. Bisa berkali-kali terperosok di lubang yang serupa.
Klakson motor, disenggol spion mobil. Adu cepat dengan gerobak dorong PSK. Menjaga
laju jalan kaki.
Cerdas pilih pijakan. Nyaris tergelincir hal biasa. Ban mobil
membagi cepat air hujan di kubangan jalan. Tak boleh protes. Sesama pengguna
jalan harus tahu diri. Knalpot motor miring ke atas. Wajah siap jadi korban.
Jalan di lingkungan tempat tinggal. Tak ada jaminan
nyaman. Jalan searah, aksi motor tak sabar. Santai menyalip mobil. Terburu setiap
waktu.
Bernafas dengan hidung. Mulut terkatup rapat. Biar tak
boros enerji. Waktu jalan bebas. Keluar rumah tidak harus ke kiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar