Halaman

Jumat, 01 Februari 2019

sigap laju kaki, stabilitas emosi plus peka lingkungan


sigap laju kaki, stabilitas emosi plus peka lingkungan

Ketetapan, kepastian perjalanan waktu yang ditentukan oleh tugas dan fungsi matahari. Berbanding lurus dengan pertambahan berat timbangan amal. Ikhwal yang berbanding terbalik, dimitigasi. Jangan sampai usia menjadi bahan baku renta.

Angka harapan hidup dengan catatan. Kegiatan silaturahmi menjadi dalil utama panjang umur. Kunjungan saling menjalin ingatan masa lalu dan saling mengingatkan masa depan. Bertemu dan berpisahnya dua anak manusia semata karena Allah swt.

Ridho-Nya dengan menggerakkan hati kita. Pernah saya berolah kata “bernafas pun, kalau tidak dengan ridho-Nya”. Menyangkut kisahku “kiat jalan kaki cepat sambil ingat kematian”.  Wajar, kalau jalan kaki demi silaturahmi – dengan alam – seolah harus egois. Jalan cepat, fokus ke depan. Bukan jalan gemulai, jalannya pria tulang lunak.

Jalannya priyayi jalan. Menginjak telek bebek saja, tetap utuh, tidak penyek. Tapi daya gilas tiada tanding. Siap libas sesuai skenario pemodal. Tambah tinggi kursi, kian téganya-téganya.

Kembali ke judul.

Berjalan di bahu jalan pun tak nyaman. Trotoar atau tutup drainase, kian tambah waspada. Bisa berkali-kali terperosok di lubang yang serupa. Klakson motor, disenggol spion mobil. Adu cepat dengan gerobak dorong PSK. Menjaga laju jalan kaki.

Cerdas pilih pijakan. Nyaris tergelincir hal biasa. Ban mobil membagi cepat air hujan di kubangan jalan. Tak boleh protes. Sesama pengguna jalan harus tahu diri. Knalpot motor miring ke atas. Wajah siap jadi korban.

Jalan di lingkungan tempat tinggal. Tak ada jaminan nyaman. Jalan searah, aksi motor tak sabar. Santai menyalip mobil. Terburu setiap waktu.

Bernafas dengan hidung. Mulut terkatup rapat. Biar tak boros enerji. Waktu jalan bebas. Keluar rumah tidak harus ke kiri. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar