Halaman

Kamis, 21 Februari 2019

wis wataké panguwasa, jaré ngaku setya negara


wis wataké panguwasa, jaré ngaku setya negara

Ujaran kalimat umum. Ditemui dipergaulan sehari-hari. Menjadi cuplikan lirik lagu, kian umum. Tak terkecuali “Jangkrik Genggong” yang dipopulerkan oleh Waljinah. Kedaerahan, akrab di kuping lokal lain. Bisa diolah menjadi kalimat yang familier, atraktif, edukatif.

Urusan akhirat, manusia melihat ke atas. Lihat ke lingkungan tempat tinggal. Bau tanah rajin ibadah, wajar. Anak muda giat dan menjadi pegiat masjid. Bakat  dipupuk sejak dalam rahim, gua garba.

Urusan dunia, bercermin diri bangkitkan rasa syukur. Tengok ke sekitar. Ke bawah. Bukan bicara nasib. Ujian buat diri. Menjadi manusia bermanfaat, mampu memberi motivasi. Mengungkit semangat sebagai sesama anak bangsa.

Rasa guyub, rukun berdasarkan norma kehidupan. Ikatan moral berupa gotong royong. Antar tetangga bisa pinjam bumbu dapur. Musim mudik bisa titip rumah ke tetangga. Patembayan, perkumpulan berdasarkan ikatan teritorial, tanah kelahiran. Menjadi trade mark ketika mengadu nasib di negeri sendiri. Logo “warteg” yang tak akan dijumpai di kotanya sendiri.

Ikatan kebatinan antara kawula dan panguwasa, sesuai praktik demokrasi Nusantara. Ada tariff sesuai kontribusi. Motto politik síng wèwèh, bakal pikolèh. Modal siap, sendiko dawuh bahasa sederhana inggah-inggih, ora kêpanggih.

Antar panguwasa saling lirik kelemahan kaki lawan. Bukan cek kadar dan lemah iman diri.

Pepatah yang disesuaikan kondisi terkini adalah 'tumpukan kursi di pelupuk mata semakin membutakan diri, hamparan tanah di negara tetangga kian membabibutakan'. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar