wis wataké panguwasa,
jaré ngaku setya negara
Ujaran kalimat umum. Ditemui dipergaulan
sehari-hari. Menjadi cuplikan lirik lagu, kian umum. Tak terkecuali “Jangkrik
Genggong” yang dipopulerkan oleh Waljinah. Kedaerahan, akrab di kuping lokal
lain. Bisa diolah menjadi kalimat yang familier, atraktif, edukatif.
Urusan akhirat, manusia melihat ke
atas. Lihat ke lingkungan tempat tinggal. Bau tanah rajin ibadah, wajar. Anak muda
giat dan menjadi pegiat masjid. Bakat dipupuk sejak dalam rahim, gua garba.
Urusan dunia, bercermin diri bangkitkan
rasa syukur. Tengok ke sekitar. Ke bawah. Bukan bicara nasib. Ujian buat diri. Menjadi
manusia bermanfaat, mampu memberi motivasi. Mengungkit semangat sebagai sesama anak
bangsa.
Rasa guyub, rukun berdasarkan norma
kehidupan. Ikatan moral berupa gotong royong. Antar tetangga bisa pinjam bumbu
dapur. Musim mudik bisa titip rumah ke tetangga. Patembayan, perkumpulan
berdasarkan ikatan teritorial, tanah kelahiran. Menjadi trade mark
ketika mengadu nasib di negeri sendiri. Logo “warteg” yang tak akan dijumpai di
kotanya sendiri.
Ikatan kebatinan antara kawula dan
panguwasa, sesuai praktik demokrasi Nusantara. Ada tariff sesuai kontribusi. Motto
politik síng wèwèh, bakal pikolèh. Modal siap, sendiko dawuh bahasa sederhana inggah-inggih, ora kêpanggih.
Antar panguwasa saling lirik kelemahan
kaki lawan. Bukan cek kadar dan lemah iman diri.
Pepatah yang disesuaikan kondisi
terkini adalah 'tumpukan kursi di pelupuk mata semakin membutakan diri, hamparan
tanah di negara tetangga kian membabibutakan'. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar