Halaman

Kamis, 19 Mei 2016

efek domino revolusi mental, degradasi hakikat presiden

efek domino revolusi mental, degradasi hakikat presiden

UUD RI 1945 hanya memakai kata “Presiden”, tanpa menyebutkan padanan kata lainnya. UU tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa : “Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Beda dengan berbagai UU lainnya, yang menyebut “Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia . . . dst.”

Gerakan politik periode 2014-2019 yang diberi aroma irama dan citra rasa revolusi mental, memposisikan Presiden hanya sebagai petugas partai. Tidak salah karena nalar, akal, logika politik si pemberi citra berkiblat pada partai komunis atau partai rakyat di Tiongkok. Mengacu pada kondisi di Tiongkok bahwa jabatan pemimpin besar partai, ketua umum partai, identik dengan jabatan kepala negara. Jangan heran jika ketua umum parpol pemenang pesta demokrasi 2014, merasa layak jadi presiden senior. Karena ybs malu maju ikut pilpres, takut kalau kepilih lagi., walau tidak diurutan pertama seperti dua peruode sebelumnya.

Eksistensi, keberadaan koalisi partai politik pendukung pemerintah, tidak serta merta, tidak otomatis, sampai oknum partai, loyal total kepada pemerintah. Kata nenek renta, itu hanya bahasa bibir. “Omongan orang politik, jangan dipercaya”, kata ahli sedot sumur wc. Justru lawan politik Jokowi plus JK, bisa santun dalam berpolitik. Karena mereka tahu, apa siapa di balik Jokowi yang tanpa JK. Puncak kebrutalan, pihak atau oknum memandang Presiden dengan sebelah mata, yaitu kasus reklamasi pantai utara DKI Jakarta, yang menghadirkan kawasan pecinan gaya baru.

Revolusi mental hanya pemanis rasa atau pemati rasa bangsa. Anak bangsa sendiri tidak menghargai, menghormati sang presiden, apalagi bangsa tetangga. Terlebih jika pembantu presiden tak memandang presiden. Pertanda moral politik sudak sampai titik nadir, ambang bawah. Perlu generasi baru, kehidupan baru yang menjadikan politik bukan sebagai sarana pelampiasan ambisi politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar