efek domino revolusi mental,
degradasi hakikat presiden
UUD RI 1945
hanya memakai kata “Presiden”, tanpa menyebutkan padanan kata lainnya. UU
tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa : “Pemerintah
Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Beda dengan berbagai UU lainnya, yang menyebut “Pemerintah
Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia . . . dst.”
Gerakan politik periode 2014-2019
yang diberi aroma irama dan citra rasa revolusi mental, memposisikan Presiden
hanya sebagai petugas partai. Tidak salah karena nalar, akal, logika politik si
pemberi citra berkiblat pada partai komunis atau partai rakyat di Tiongkok. Mengacu
pada kondisi di Tiongkok bahwa jabatan pemimpin besar partai, ketua umum partai,
identik dengan jabatan kepala negara. Jangan heran jika ketua umum parpol
pemenang pesta demokrasi 2014, merasa layak jadi presiden senior. Karena ybs
malu maju ikut pilpres, takut kalau kepilih lagi., walau tidak diurutan pertama
seperti dua peruode sebelumnya.
Eksistensi, keberadaan koalisi partai
politik pendukung pemerintah, tidak serta merta, tidak otomatis, sampai oknum
partai, loyal total kepada pemerintah. Kata nenek renta, itu hanya bahasa
bibir. “Omongan orang politik, jangan dipercaya”, kata ahli sedot sumur wc.
Justru lawan politik Jokowi plus JK, bisa santun dalam berpolitik. Karena
mereka tahu, apa siapa di balik Jokowi yang tanpa JK. Puncak kebrutalan, pihak atau oknum
memandang Presiden dengan sebelah mata, yaitu kasus reklamasi pantai utara DKI
Jakarta, yang menghadirkan kawasan pecinan gaya baru.
Revolusi mental hanya pemanis rasa
atau pemati rasa bangsa. Anak bangsa sendiri tidak menghargai, menghormati sang
presiden, apalagi bangsa tetangga. Terlebih jika pembantu presiden tak
memandang presiden. Pertanda moral politik sudak sampai titik nadir, ambang
bawah. Perlu generasi baru, kehidupan baru yang menjadikan politik bukan
sebagai sarana pelampiasan ambisi politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar