Hakim, Sang Pemborong Hukum
Lema “hakim”
merupakan singkatan dari “hubungi aku kalau ingin menang”. Posisi tawar hakim
bisa sangat strategis. Terganjal aturan formal : tidak boleh rangkap jabatan,
tidak boleh mencari obyekkan atau penghasilan sampingan, wajib focus ke tugas
dan fungsi, maka hakim memanfaatkan
jabatan secara multifungsi, multimanfaat dan multiguna. Hasilnya, semula
sebagai penjaga keadilan, pendekar hukum beralih fungsi menjadi pemborong
hukum. Masuk kuadran melakukan transaksi jual beli perkara.
Pemborong hukum
profesional mengutamakan keuntungan finansial secara optimal. Perkara dengan
pasal komersial, hakim siap berjibaku, blusukan memperkuat data dan informasi,
khususnya menetapkan tarif kesepakatan. Bernego dengan pihak berperkara yang
ingin keluar mulus tanpa tuntutan. Kalau perlu jemput bola, uber Rp di kandang
lawan. Semua alur menadi halal, legal dan konstitusional. Harus bermain cantik
menggiring Rp agar tak terkena semprit hakim garis maupun wasit. Jangan sampai
terdeteksi, apalagi tertangkap tangan oleh KPK.
Semakin besar
perkara, apalagi melibatkan orang yang seolah kebal hukum, tentu billing rate atau fee juga tak kecil. Minimal jauh diatas gaji atau penghasilan per
bulan sebagai batas negosiasi. Sebagai ahli hukum diimbangi dengan ahli mengolah
perkara. Mengambil keuntungan dari pihak yang menawarkan keuntungan, atau pihak
yang akan memberikan keuntungan yang menjanjikan bila keputusan hukumnya
menguntungkan. Memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan pihak mana yang
paling banyak menguntungkan. Hati nurani boleh bicara, praktiknya kalah dengan semboyan dan peribahasa politik “sekali ketuk palu,
dua tiga keintungan dirah”. Tak salah sejak doeloe berlaku pepatah “berhakim
kepada beruk”, maksudnya minta keadilan (pertimbangan) kepada orang yang rakus;
minta pengadilan kepada orang yang tamak niscaya akan rugi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar