Halaman

Minggu, 29 Mei 2016

Hakim, Sang Pemborong Hukum



Hakim, Sang Pemborong Hukum

Lema “hakim” merupakan singkatan dari “hubungi aku kalau ingin menang”. Posisi tawar hakim bisa sangat strategis. Terganjal aturan formal : tidak boleh rangkap jabatan, tidak boleh mencari obyekkan atau penghasilan sampingan, wajib focus ke tugas dan fungsi,  maka hakim memanfaatkan jabatan secara multifungsi, multimanfaat dan multiguna. Hasilnya, semula sebagai penjaga keadilan, pendekar hukum beralih fungsi menjadi pemborong hukum. Masuk kuadran melakukan transaksi jual beli perkara.

Pemborong hukum profesional mengutamakan keuntungan finansial secara optimal. Perkara dengan pasal komersial, hakim siap berjibaku, blusukan memperkuat data dan informasi, khususnya menetapkan tarif kesepakatan. Bernego dengan pihak berperkara yang ingin keluar mulus tanpa tuntutan. Kalau perlu jemput bola, uber Rp di kandang lawan. Semua alur menadi halal, legal dan konstitusional. Harus bermain cantik menggiring Rp agar tak terkena semprit hakim garis maupun wasit. Jangan sampai terdeteksi, apalagi tertangkap tangan oleh KPK.

Semakin besar perkara, apalagi melibatkan orang yang seolah kebal hukum, tentu billing rate atau fee juga tak kecil. Minimal jauh diatas gaji atau penghasilan per bulan sebagai batas negosiasi. Sebagai ahli hukum diimbangi dengan ahli mengolah perkara. Mengambil keuntungan dari pihak yang menawarkan keuntungan, atau pihak yang akan memberikan keuntungan yang menjanjikan bila keputusan hukumnya menguntungkan. Memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan pihak mana yang paling banyak menguntungkan. Hati nurani boleh bicara, praktiknya kalah dengan semboyan dan peribahasa politik “sekali ketuk palu, dua tiga keintungan dirah”. Tak salah sejak doeloe berlaku pepatah “berhakim kepada beruk”, maksudnya minta keadilan (pertimbangan) kepada orang yang rakus; minta pengadilan kepada orang yang tamak niscaya akan rugi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar