efek
domino revolusi mental, politik tragedi vs tragedi politik
Bukan membandingkan,
menyandingkan, menandingkan gerakan politik versi Reformasi vs gerakan politik
di zaman Orde Baru dan Orde Lama. Bisa juga dengan saat pra-Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Bukan mencari fakta mana yang lebih unggul,
karena setiap pemerintahan punya karakter dan alasan kuat untuk berbuat atau
tidak berbuat. Bukan juga untuk mencari benang merah sebagai pembelajaran
praktis bagi generasi mendatang.
Tragedi politik yang
tercatat dalam sejarah yaitu pemberontakan pertama PKI tahun 1948 atau dikenal
dengan sebutan Madiun Affair. Pemberontakan kedua PKI tenar dengan sebutan
Pemberontakan G30S PKI. Tepat kalender 30 September 1965. Terjadi di ibu kota
negara, Jakarta. Sebagai bukti bukan gerakan lokal. PKI beraksi di Yogyakarta. Melahirkan
pahlawan revolusi.
“Single mayority”
selama Orde Baru, apakah sebagai penyederhanaan bentuk dan makna tragedi
politik. Pak Harto memanfaatkan eksistensi Golkar untuk kendaraan
politiknya, sehingga dalam 6 kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997) atas kehendak rakyat melalui Tap MPR tetap sebagai RI-1. Banyak rahasia
umum yang tidak diangkat jadi bahan pendidikan politik bagi partai politik
selanjutnya.
Era Reformasi yang secara de facto dan de jure dimulai dari
puncaknya saat berhasil melengserkeprabonkan Bapak Pembangunan H.M Soeharto
dari singgsana RI-1 yang ke-2. Wapres BJ Habibie dilantik sebagai RI-1 ke-3 (21
Mei 1998 - 20 Oktober 1999). Sejak ini kemelut politik semakin kental, formal
dan legal. Banyaknya partai politik muncul menandakan demokrasi sehat dan
menyejukkan.
Kata pak
dalang, panggung politik Nusantara sudah sangat melampaui panggung wayang versi
manapun. Pelaku, pemain, pekerja politik sudah melebihi stock karakter dan
watak wayang yang tersedia. Ada yang model satria yang gemulai, satria gagah
perkasa sampai watak angkara murka bin durjana. Dedengkotnya adalah Dasamuka
dengan berbagai sebutan lainnya. Ada titisan betari Durgi sampai ada limbuk
yang jenaka, pemain watak sok kenes, tapi pendendam.
Singkat
kata, imbuh pak dalang, di periode 2014-2019, terjadi politik tragedi. Diawali
modus operandi sekjen partai pendatang, yang tak mau kalah ambil langkah dengan
para pendahulunya. Soal koalisi, memang penyakit berpolitik sejak dari sono-nya.
Dampak negara multi partai. Politik tragedi semakin diperjelas dengan perilaku
ketua umum parpol pendatang tadi, dengan mengaku berjasa menuntaskan masalah
negara di dunia internasional. Sinden yang membuat suasana jadi haru dan hiba,
malah terang-terangan berkoar, politik tragedi ini lebih dahsyat dibanding pemberontakan
PKI yang sampai dua kali. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar