Halaman

Selasa, 17 Mei 2016

efek domino revolusi mental, politik tragedi vs tragedi politik

efek domino revolusi mental, politik tragedi vs tragedi politik

Bukan membandingkan, menyandingkan, menandingkan gerakan politik versi Reformasi vs gerakan politik di zaman Orde Baru dan Orde Lama. Bisa juga dengan saat pra-Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Bukan mencari fakta mana yang lebih unggul, karena setiap pemerintahan punya karakter dan alasan kuat untuk berbuat atau tidak berbuat. Bukan juga untuk mencari benang merah sebagai pembelajaran praktis bagi generasi mendatang.

Tragedi politik yang tercatat dalam sejarah yaitu pemberontakan pertama PKI tahun 1948 atau dikenal dengan sebutan Madiun Affair. Pemberontakan kedua PKI tenar dengan sebutan Pemberontakan G30S PKI. Tepat kalender 30 September 1965. Terjadi di ibu kota negara, Jakarta. Sebagai bukti bukan gerakan lokal. PKI beraksi di Yogyakarta. Melahirkan pahlawan revolusi.

Single mayority” selama Orde Baru, apakah sebagai penyederhanaan bentuk dan makna tragedi politik. Pak Harto memanfaatkan eksistensi Golkar untuk kendaraan politiknya, sehingga dalam 6 kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) atas kehendak rakyat melalui Tap MPR tetap sebagai RI-1. Banyak rahasia umum yang tidak diangkat jadi bahan pendidikan politik bagi partai politik selanjutnya.

Era Reformasi yang secara de facto dan de jure dimulai dari puncaknya saat berhasil melengserkeprabonkan Bapak Pembangunan H.M Soeharto dari singgsana RI-1 yang ke-2. Wapres BJ Habibie dilantik sebagai RI-1 ke-3 (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999). Sejak ini kemelut politik semakin kental, formal dan legal. Banyaknya partai politik muncul menandakan demokrasi sehat dan menyejukkan.

Kata pak dalang, panggung politik Nusantara sudah sangat melampaui panggung wayang versi manapun. Pelaku, pemain, pekerja politik sudah melebihi stock karakter dan watak wayang yang tersedia. Ada yang model satria yang gemulai, satria gagah perkasa sampai watak angkara murka bin durjana. Dedengkotnya adalah Dasamuka dengan berbagai sebutan lainnya. Ada titisan betari Durgi sampai ada limbuk yang jenaka, pemain watak sok kenes, tapi pendendam.

Singkat kata, imbuh pak dalang, di periode 2014-2019, terjadi politik tragedi. Diawali modus operandi sekjen partai pendatang, yang tak mau kalah ambil langkah dengan para pendahulunya. Soal koalisi, memang penyakit berpolitik sejak dari sono-nya. Dampak negara multi partai. Politik tragedi semakin diperjelas dengan perilaku ketua umum parpol pendatang tadi, dengan mengaku berjasa menuntaskan masalah negara di dunia internasional. Sinden yang membuat suasana jadi haru dan hiba, malah terang-terangan berkoar, politik tragedi ini lebih dahsyat dibanding pemberontakan PKI yang sampai dua kali. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar