jamuan makan siang
gratis terakhir
“Hari ini kontan, besok
boleh utang”. Merupakan maklumat tertulis. Dipasang di dinding warung rakyat. Melayani
yang mau santap dengab menu lauk dan sayur rakyat. Menjual kebutuhan pokok
rakyat secara kètèngan. Atau partai kecil.
Agar roda perekonomian warung, diharapkan pelanggan
tak main utang. Toleransi berlaku bagi yang memang terpaksa utang. Bayar
mingguan tanpa bunga. Atau lunasi pas ketiban rezeki. Tanpa ilmu, telah terjadi
praktik warung berasaskan kekeluargaan. Tepo sliro.
Kondisi ekonomi antara pemilik warung dengan
pembeli, masuk klas yang sama. Apalagi kalau warung berada di perkampungan.
Siap diketuk pada saat jam tidur. Tetangga yang beli.
Model di atas, pengusaha warung bisa membaca
kebutuhan rakyat dan mendeteksi daya beli rakyat. Meningkat, menerima titipan
barang dan atau makanan. Warung bisa menjadi ajang kumpul wakil keluarga, wakil
rumah tangga.
Kampung besar Nusantara yang multiheterogen. Warung
nasional menjadi multiguna. Apa saja dijual dan ditawarkan. Menerima pasokan
dari pihak mana saja. Kendati tidak saling menguntungkan. Bisa dikompensasi,
dikonversikan ke bentuk non-ekonomi. Politik transaksional, bagi hasil. Juga
bukan. Politik balas jasa, belas dendam sejalan dengan politik balas dendam.
Pasang surut peradaban mempengaruhi menu politik.
Posisi tawar Indonesia yang mudah ditawar, memudahkan menu asing tersedia di
warung Nusantara. Manusia politik tidak sekedar ikut arus. Tuntutan moralitas
ideologi harus memposisikan dirinya sebagai kompetitor, pesaing.
Anak bangsa pribumi, dengan segala atribut primitif
namun ingin tampil prima, terjebak silau dengan masa lampau. Alergi dengan masa
depan. Mau duduk manis dan siap didorong kemana saja. Kapan saja. Merasa
nyaman. Jangan sampai kursi dorong diserobot orang lain di tengah jalan.
Dibegal di tengah periode. Beda, belum jatuh tempo sudah melihat rumput
tetangga lebih ranum.
Namanya politik Bung . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar