Halaman

Rabu, 19 September 2018

Indonesia, buruk politik rakyat dibelah


Indonesia, buruk politik rakyat dibelah

Wajar, tak perlu debat ujar. Namanya negara multipartai, multipilot. Sebutan sebagai negara yang sedang, masih, akan, selalu berkembang, siap tinggal landas kapan saja.

Bentuk nyata dari praktik demokrasi atau Pancasila adalah antara politik dan kekuasaan menjadi satu paket utuh. Menjadi bak dua sisi mata uang kertas maupun recehan logam RI. Memenuhi syarat kebangsaan.

Perubahan yang pernah terjadi di Nusantara, bak menunggu nasib. Mau mulainya dari atas – ing ndhuwur agawe mulyo dhewek  dengan kontrak politik lima tahun. Bisa saja terjadi perubahan mendasar di akar rumput –  ing  ngisor kepidak-pidak  bareng – tanpa batas waktu formal konstitusional.

Hubungan kenegaraan, kebangsaan, kerakyatan antara mandataris MPR/ presiden pilihan langsung rakyat atau pola lainnya dengan partai politik, belum bisa dijadikan acuan hidup.

UUD NRI mengalami Perubahan, dengan segala konsekuensi irionisnya.

Berjajarnya aneka warna partai politik bukan membentuk menjadi kekuatan bangsa dan negara. Warisan menu politik ‘nasakom’, sejak jayanya di zaman Ordea Lama, tak akan pernah lekang oleh suhu politik.

Ironis binti miris. Di internal tubuh sebuah partai politik, terjadi persaingan bebas di ruang terbatas. Karena kapling strategis sudah menjadi hak kuasa, hak milik, hak guna, hak manfaat ahli waris.

Kalau mau eksis, berjati diri, tanpa antri lama, lebih bermartabat mendirikan sebuah bentukan partai politik. Soal umur teknis, tanggal kedaluwarsa jelas tak ada interaksi dengan biaya politik.

Jika terbukti secara medis, bahwa setiap langkah politik tidak mengandung unsur, komponen cita rasa rakyat, maka daripada itu. Kembali ke judul. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar