Indonesia,
buruk politik rakyat dibelah
Wajar, tak perlu debat ujar. Namanya
negara multipartai, multipilot. Sebutan sebagai negara yang sedang, masih,
akan, selalu berkembang, siap tinggal landas kapan saja.
Bentuk nyata dari praktik demokrasi
atau Pancasila adalah antara politik dan kekuasaan menjadi satu paket utuh.
Menjadi bak dua sisi mata uang kertas maupun recehan logam RI. Memenuhi syarat
kebangsaan.
Perubahan yang pernah terjadi di
Nusantara, bak menunggu nasib. Mau mulainya dari atas – ing ndhuwur agawe mulyo
dhewek – dengan kontrak politik lima
tahun. Bisa saja terjadi perubahan mendasar di akar rumput – ing ngisor kepidak-pidak bareng – tanpa batas waktu formal konstitusional.
Hubungan kenegaraan, kebangsaan,
kerakyatan antara mandataris MPR/ presiden pilihan langsung rakyat atau pola
lainnya dengan partai politik, belum bisa dijadikan acuan hidup.
UUD NRI mengalami Perubahan, dengan
segala konsekuensi irionisnya.
Berjajarnya aneka warna partai
politik bukan membentuk menjadi kekuatan bangsa dan negara. Warisan menu
politik ‘nasakom’, sejak jayanya di zaman Ordea Lama, tak akan pernah lekang
oleh suhu politik.
Ironis binti miris. Di internal
tubuh sebuah partai politik, terjadi persaingan bebas di ruang terbatas. Karena
kapling strategis sudah menjadi hak kuasa, hak milik, hak guna, hak manfaat
ahli waris.
Kalau mau eksis, berjati diri, tanpa
antri lama, lebih bermartabat mendirikan sebuah bentukan partai politik. Soal umur
teknis, tanggal kedaluwarsa jelas tak ada interaksi dengan biaya politik.
Jika terbukti secara medis, bahwa
setiap langkah politik tidak mengandung unsur, komponen cita rasa rakyat, maka
daripada itu. Kembali ke judul. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar