Halaman

Kamis, 20 September 2018

kulihat Ibu Pertiwi sedang merebus beras impor vs nasi guling tan parasa



kulihat Ibu Pertiwi sedang merebus beras impor vs nasi guling tan parasa

Namanya usaha. Selalu terjadi dan menimpa negara yang getol, gemar mikirkan nasib rakyatnya. Di otak politiknya, terngiang wajah lapar rakyat dengan segala atributnya. Tapi yang ini bukan dalih untuk maju di periode kedua.

Jelasnya, kendati Dirut Bulog berujar bahwasnya impor beras mubazir, tudak bagi oknum pengimpor atau importir. Bukan karena presiden yang berjiwa dagang, pedagang, pedagang kayu sehinga terlatih main kayu. Diimbangi dengan pembantu presiden urusan perdagangan yang total pedagang. Manusia ekonomi jelas selalu di balik layar penguasa atau kawanan manusia politik.

Ujar lirih dan ringan ki dalang Sobopawon, sudah kehendak sejaran jika Dewi Sri selama pertunjukan 2014-2018 kalah pamor, kalah garang dengan “Dewi Sri” negara lain. Demi menjaga wibawa negara. Jangan sampai NKRI dianggap tidak sanggup beli beras murah. Siapa duga, beras tsb memang bukan untuk konsumsi rakyatnya. Sengaja kualitas ekspor bagi untuk negara yang mengutamakan urusan perut.

Jangan bilang ke pihak mana pun. Selain Dewi Sri yang hanya duduk manis di bangku cadangan, terkadang Dewi Keadilan hanya sesekali nongol. Bukan sebagai pengalih isu, sistem buka tutup, contra flow atau penyeimbang lakon.

Tidak hanya budaya asing yang menjajah dan pengarah langkah generasi “tan madep”, urusan isi perut menjadi target dan sasaran empuk-empuk enak. Bisa menaikkan gengsi dan harga diri si penyantap.

Berbahan baku beras impor – ditambah komponen impor lainnya –  tak  disengaja kosakata kuliner lokal, menjadi berdaya saing di restoran asing. Misal, muncul menu ‘nasi guling tan parasa’. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar