kulihat
Ibu Pertiwi sedang merebus beras impor vs nasi guling tan parasa
Namanya usaha. Selalu terjadi dan
menimpa negara yang getol, gemar mikirkan nasib rakyatnya. Di otak politiknya,
terngiang wajah lapar rakyat dengan segala atributnya. Tapi yang ini bukan
dalih untuk maju di periode kedua.
Jelasnya, kendati Dirut Bulog
berujar bahwasnya impor beras mubazir, tudak bagi oknum pengimpor atau
importir. Bukan karena presiden yang berjiwa dagang, pedagang, pedagang kayu
sehinga terlatih main kayu. Diimbangi dengan pembantu presiden urusan
perdagangan yang total pedagang. Manusia ekonomi jelas selalu di balik layar
penguasa atau kawanan manusia politik.
Ujar lirih dan ringan ki dalang
Sobopawon, sudah kehendak sejaran jika Dewi Sri selama pertunjukan 2014-2018
kalah pamor, kalah garang dengan “Dewi Sri” negara lain. Demi menjaga wibawa
negara. Jangan sampai NKRI dianggap tidak sanggup beli beras murah. Siapa duga,
beras tsb memang bukan untuk konsumsi rakyatnya. Sengaja kualitas ekspor bagi
untuk negara yang mengutamakan urusan perut.
Jangan bilang ke pihak mana pun.
Selain Dewi Sri yang hanya duduk manis di bangku cadangan, terkadang Dewi
Keadilan hanya sesekali nongol. Bukan sebagai pengalih isu, sistem buka tutup, contra flow atau penyeimbang lakon.
Tidak hanya budaya asing yang
menjajah dan pengarah langkah generasi “tan madep”, urusan isi perut menjadi
target dan sasaran empuk-empuk enak. Bisa menaikkan gengsi dan harga diri si
penyantap.
Berbahan baku beras impor – ditambah
komponen impor lainnya – tak disengaja kosakata kuliner lokal, menjadi
berdaya saing di restoran asing. Misal, muncul menu ‘nasi guling tan parasa’. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar