Politisi Sipil, Mulai Akar
Rumput Sampai Rumput Liar
Asumsi Historis
Teks “Pemimpin Rakyat Lahir Dari Rakyat”
yang terpampang di laman metrotvnews.com bersifat multitafsir dan nyaris
tendensius.. Jika teks ini sebagai asumsi historis, berarti anak bangsa yang
pernah menikmati hidup (bahasa politis dari dilahirkan/dibesarkan) di istana, keraton,
atau tempat bukan untuk rakyat, tidak bisa menjadi pemimpin rakyat.
Indonesia menempatkan posisi pemimpin
rakyat sebagai jabatan formal, dengan sebutan kepala negara, yang dipilih
langsung oleh rakyat untuk periode tertentu. Terkait teks, berarti anak cucu
presiden yang menikmati hidup di istana, karena tuntutan sejarah yaitu Soekarno
dan Suharto, notabene tidak lahir dari rakyat, tidak bisa menjadi pemimpin.
Khususnya sebagai pemimpin rakyat.
Masuk akal dan logis, anak bangsa
dimaksud, ada yang tahu diri dengan menjauh dari mengurus urusan rakyat, sibuk
di usaha yang telah dirintis dengan fasilitas istana dan sebaliknya merasa bisa
menjadi pemimpin rakyat/wakil rakyat. Atau melakukan kombinasinya karena zaman
selalu berubah. Persyaratan yuridis formal untuk diajukan sebagai calon kepala
negara/wakil rakyat, secara administratif terpenuhi.
Teks tadi secara tak langsung, dari sisi
lain, menyuarakan fakta tidak ada anak ideologis Bung Karno dan tidak terdapat darah
militer anak Suharto.
Babak Final
Pesta demokrasi 2014, khususnya pilpres 9
Juli 2014, suhu politik melebihi final piala dunia. 2 pasang calon presiden dan
calon wakil presiden berlaga langsung di babak final, tidak ada
pesaing.Ironisnya, 4 nama kandidat finalis bukan politikus. Kalau ada, hanya masuk
kategori pekerja partai.
Pendukung fanatik 2 pesaing melebihi
mental dan moral bondo nekat (bonek), yang tak rela pasangan kesayangan kalah.
Memang tak ada petaruh, tapi banyak yang berharap atau mempunyai ambisi
individu.
Rakyat bersyukur, karena tidak muncul sentimen
almamater, dukungan politis dari kampusnya. Bukan berarti para pendukung
spontan maupun terorganisir, pendukung
invidu maupun komunitas, masuk kategori modal berani malu, modal dengkul, modal
otot dan bergaya ala bonek.
Rakyat prihatin, ada ormas Islam yang menyatakan
sikap netral, namun ikut andil berkomentar atas tingkah laku tim sukses. Alim
ulama, cendekiawan muslim, tokoh ormas Islam, santri pondok pesantren yang
lebih bijak jika mendukung agar pilpres berjalan sesuai keinginan bersama,
tidak dengan mengelus-elus jagonya.
Di pemilu legislatif 9 April 2014, muncul
pemilih dengan stigma uneducated people. Kondisi ini berlanjut, muncul
politisi akar rumput yang beratribut tim sukses. Pandangan politik, orasi atau
obrolan politiknya melebihi sang calon. Kombinasi penonton dan pemain, berakhir
dengan sikap yang membabi buta.
Politisi akar rumput merasa sebagai
penyebab seseorang terpilih menjadi wakil rakyat tingkat kabupaten, kota,
provinsi dan pusat. Karena demokrasi Indonesia menyuratkan bahwa kemenangan
berdasarkan jumlah suara, bukan dari hakekat atau makna keterwakilan.
Langkah Antisipatif
Petani menanam benih padi di sawah, ketersediaan tanah dan air sesuai
persyaratan, berharap tanaman tumbuh subur. Wajar, rumput atau tanaman lain
ikut tumbuh di sekelliling padi. Bahkan lebih beraneka ragam, lebih subur, dan
lebih atraktif.
Walau Indonesia krisis dan minus
negarawan, di lingkungan kawanan parpolis (semacam pekerja politik), di sekitar
sumbu kekuasaan muncul rumput liar yang variatif.
Tak ayal, tim sukses bisa mengail di air
keruh, di pihak lain, tukang survei dengan fungsi gandanya bisa sebagai
kataliasor memperkeruh suasana. Patut diwaspadai, politisi akar rumput mudah
disulut emosinya, mudah digoyang kadar ideologinya, mudah dirontokkan loyalitasnya.
Politisi rumput liar tak lebih bagaikan benalu, sebagai parasit. Walau mereka
seolah berani mati untuk idolanya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar