Halaman

Jumat, 14 September 2018

Politisi Sipil, Mulai Akar Rumput Sampai Rumput Liar


Politisi Sipil, Mulai Akar Rumput Sampai Rumput Liar

Asumsi Historis
Teks “Pemimpin Rakyat Lahir Dari Rakyat” yang terpampang di laman metrotvnews.com bersifat multitafsir dan nyaris tendensius.. Jika teks ini sebagai asumsi historis, berarti anak bangsa yang pernah menikmati hidup (bahasa politis dari dilahirkan/dibesarkan) di istana, keraton, atau tempat bukan untuk rakyat, tidak bisa menjadi pemimpin rakyat.

Indonesia menempatkan posisi pemimpin rakyat sebagai jabatan formal, dengan sebutan kepala negara, yang dipilih langsung oleh rakyat untuk periode tertentu. Terkait teks, berarti anak cucu presiden yang menikmati hidup di istana, karena tuntutan sejarah yaitu Soekarno dan Suharto, notabene tidak lahir dari rakyat, tidak bisa menjadi pemimpin. Khususnya sebagai pemimpin rakyat.

Masuk akal dan logis, anak bangsa dimaksud, ada yang tahu diri dengan menjauh dari mengurus urusan rakyat, sibuk di usaha yang telah dirintis dengan fasilitas istana dan sebaliknya merasa bisa menjadi pemimpin rakyat/wakil rakyat. Atau melakukan kombinasinya karena zaman selalu berubah. Persyaratan yuridis formal untuk diajukan sebagai calon kepala negara/wakil rakyat, secara administratif terpenuhi.

Teks tadi secara tak langsung, dari sisi lain, menyuarakan fakta tidak ada anak ideologis Bung Karno dan tidak terdapat darah militer anak Suharto.

Babak Final
Pesta demokrasi 2014, khususnya pilpres 9 Juli 2014, suhu politik melebihi final piala dunia. 2 pasang calon presiden dan calon wakil presiden berlaga langsung di babak final, tidak ada pesaing.Ironisnya, 4 nama kandidat finalis bukan politikus. Kalau ada, hanya masuk kategori pekerja partai.

Pendukung fanatik 2 pesaing melebihi mental dan moral bondo nekat (bonek), yang tak rela pasangan kesayangan kalah. Memang tak ada petaruh, tapi banyak yang berharap atau mempunyai ambisi individu.

Rakyat bersyukur, karena tidak muncul sentimen almamater, dukungan politis dari kampusnya. Bukan berarti para pendukung spontan maupun  terorganisir, pendukung invidu maupun komunitas, masuk kategori modal berani malu, modal dengkul, modal otot dan bergaya ala bonek.

Rakyat prihatin, ada ormas Islam yang menyatakan sikap netral, namun ikut andil berkomentar atas tingkah laku tim sukses. Alim ulama, cendekiawan muslim, tokoh ormas Islam, santri pondok pesantren yang lebih bijak jika mendukung agar pilpres berjalan sesuai keinginan bersama, tidak dengan mengelus-elus jagonya.

Di pemilu legislatif 9 April 2014, muncul pemilih dengan stigma uneducated people. Kondisi ini berlanjut, muncul politisi akar rumput yang beratribut tim sukses. Pandangan politik, orasi atau obrolan politiknya melebihi sang calon. Kombinasi penonton dan pemain, berakhir dengan sikap yang membabi buta.

Politisi akar rumput merasa sebagai penyebab seseorang terpilih menjadi wakil rakyat tingkat kabupaten, kota, provinsi dan pusat. Karena demokrasi Indonesia menyuratkan bahwa kemenangan berdasarkan jumlah suara, bukan dari hakekat atau makna keterwakilan.

Langkah Antisipatif
Petani menanam benih padi di sawah,  ketersediaan tanah dan air sesuai persyaratan, berharap tanaman tumbuh subur. Wajar, rumput atau tanaman lain ikut tumbuh di sekelliling padi. Bahkan lebih beraneka ragam, lebih subur, dan lebih atraktif.

Walau Indonesia krisis dan minus negarawan, di lingkungan kawanan parpolis (semacam pekerja politik), di sekitar sumbu kekuasaan muncul rumput liar yang variatif. 

Tak ayal, tim sukses bisa mengail di air keruh, di pihak lain, tukang survei dengan fungsi gandanya bisa sebagai kataliasor memperkeruh suasana. Patut diwaspadai, politisi akar rumput mudah disulut emosinya, mudah digoyang kadar ideologinya, mudah dirontokkan loyalitasnya. Politisi rumput liar tak lebih bagaikan benalu, sebagai parasit. Walau mereka seolah berani mati untuk idolanya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar