Halaman

Sabtu, 22 September 2018

makanan sudah di tangan, belum tentu rejeki kita


makanan sudah di tangan, belum tentu rejeki kita

Tanpa kesadaran utuh,  bukan karena daya peduli pas-pasan, kita acap ragu membaca sinyal. Hati kecil sudah mengingatkan. Secara mistis, bulu kuduk berdiri. Hidung mencium bau yang tak lazim. Telinga seperti dengar-dengar.

Di tempat yang ramai, terkadang hati kita merasa sunyi. Telinga tak terusik lalu lintas suara aneka sumber. Ada orang adu baku rebut, jiwa kita tak terpengaruh. Bisa menelan waktu lama dalam kondisi diam yang menghanyutkan diri.

Mata menatap bebas tapi tak ada yang terlihat. Semua obyek menjadi sama dikedudukan rekaman kehidupan. Runyamnya, terjadi perubahan di sekitar kita tanpa kita sadari. Siapa tahu, tadi ada orang di lokasi yang sama, berhal yang tidak beda jauh. Mereka lebih cepat merespon ketidakpastian keadaan.

Kejadian hanya beberapa menit, jika diuraikan sesuai hukum sebab-akibat, seolah kejadian tanpa batas waktu. Seperti beberapa kejadian mirip, bertumpuk menjadi satu di waktu yang sama. Kita menyatu atau bersua dengan diri kita yang beda waktu. Jarang pada suasana yang lebih tua.

Melakukan sesuatu, tidak hanya diawali dengan niat, baca basmallah dan tekad melaksanakannya. Ada faktor eksternal yang patut dipertimbangkan dengan cerdas, cepat dan jangan banyak pertimbangan.

Di tempat yang baik, di waktu yang kandungan baiknya masih menyala, kita tetap bahkan harus lebih peka.

Usai jumatan, di halaman masjid, remaja dan anak-anak yang belum wajib sholat, sibuk antri makan siang gratis. Ketua DKM mengajak jamaah manula untuk santap siang di ruang sekretariat. Beberapa meja disatukan nenjadi meja makan,  satu meja tamu dan deretan kursi.

Menu bervariasi walau dari satu sumber. Saat itu soto Lamongan. Pilih pakai piring atau mangkok. Kuah soto di termos ember, beruap. Walau manula, tetap main rebut.

Saya pilih ambil lauk terlebih dahulu. Antrian nasi berkurang, saya ganti maju. Lauk tertutup nasi. Terpaksa ambil lauk lagi. Diguyur kuah panas. Ambil posisi di deretan kursi.

Sambil aduk-aduk nasi, tidak segara makan. Panas kuah terserap nasi. Makan santai. Antrian bertambah lowongan.

Tampak jamaah yang lebih tua, isi piring nyaris ludes. Lapar dan makan cepat. Ambil duduk di samping kanan saya, sambil melihat isi piring saya yang masih utuh. “Ayo pak, silahkan tambah . . “, ujarnya diulang sampai 3 kali. Sambil tangannya menyuruh saya maju.

“Tambah apa! . . . “, jawab saya agak keras, biar yang lain dengar.  Modusnya, mau tambah malu. Malah menyuruh orang lain.

Langsung saya jadi berpikir tanpa mikir lama. Menyikapi dengan lapang hati, tenang jiwa. Jangan-jangan, jatah di tangan saya, bukan hak saya. Berkah jumat. Memang ada adab makan yang tampaknya gratisan. Masih ada pihak lain yang butuh segera makan siang gratis. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar