Halaman

Senin, 24 September 2018

antisipasi tahun krisis politik, rakyat wajib dicekoki Pancasila


antisipasi tahun krisis politik, rakyat wajib dicekoki Pancasila

Rakyat dimanapun negaranya, tetap rakyat. Kecuali jika mampu melakukan pergerakan perubahan. Kesempatan tersebut memang tak akan pernah datang dengan serba kebetulan. Negara zionis tampak kompak antara rakyat dengan pemimpin bangsa. Rasa nasionalismenya terbentuk karena watak bawaan. Sejalan dengan sejarah rasul dan atau nabi.

NKRI harga mati, menyebabkan nilai tukar presiden yang petugas partai, tergantung sentimen positif pasar global. Tekanan pasar lokal lebih ditentukan kebijakan pro-perut rakyat. Takut dianggap politik anjing kencing, kaki satu diangkat. Maka saat kencing, manusia politik memakai gaya politik dua kaki. Tak perlu mengangkat satu kaki.

Rakyat dianggap pengkhianat seadanya jika mégatéga dengan santai tanpa merasa bersalah, tertangkap basah mengotak-atik wibawa negara. Wibawa dari sono-nya atau setting-an. Hak cipta wibawa negara dilindungi undang-undang. Tidak dapat diganggu gugat. Tidak bisa dipidanakan.

Éfék domino sebagai negara multipartai, susah dilacak. Tak ada tuntasnya. Semakin bercabang. Menjulang maupun terjun bebas. Produk unggulan sebuah partai politik, mampu mencetak koruptor klas kakap.

Pemerintah wajib mencegak tangkal kebangkitan moral rakyat.

Warga yang memilih Ketua RT. Namun untuk sua sang Ketua RT ada POS (prosedur operasi standar). Analog untuk bertatap wajah dengan kepala negara pilihannya. Jang kecil hati. Si petugas partai sanggup blusukan sampai pasar tradisional.  Agar aduan masyarakat bisa langsung disimak.

Sisi senyatanya, oknum anak bangsa pribumi ahli menggandakan aneka ujaran berbasis kebencian, penistaan, pembodohan dipelihara oleh negara. Diberi peluang untuk memanfaatkan TIK. Tujuan utama adalah menjaga stabilitas citra, pesona wibawa penguasa.

Rakyat, karena keterbatasan aksesbilitas, konektivitas dengan dunia politik. Tak sempat ikut pendidik politik secara berjenjang dan bersertifikat. Menjadi sasaran empuk pemurtadan politik.

Jangan lupa kawan sebangku, rakyat terbiasa sejak zaman pra-Proklamasi dengan ultimatum politik, intimidasi politik. Lebih dari itu. Kebal dengan dampak bencana politik rekayasa penguasa. Akirnya, rakyat menjadi tahu diri. Kapan diam seribu tindakan. Kapan menggeliat siap melaju. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar