Halaman

Minggu, 09 September 2018

Indonesia boros ideologi dan berat di ongkos


Indonesia boros ideologi dan berat di ongkos

Cerita dimulai dari Pancasila, bikin bosan. Diawali ikhwal negara multipartai, sudah jemu. Praktik demokrasi sebagai pembuka, semakin jenuh. Mengangkat tema NKRI harga mati, tidak ada seninya. Menggugah citra pesona wibawa negara, langka barang baru. Mengungkit predikat petugas partai, belum-belum muntah tujuh keliling. Serba salah.

Tidak bagi yang bersangkutan atau yang tak sengaja – berada di tempat dan waktu yang salah – tersangkut. Dikarenakan, hukum yang berlaku adalah bahwasanya nilai baik, kadar benar, moral bagus ditentukan oleh jumlah suara terbanyak, mayoritas maupun aklamasi.

Pernah saya tayangkan tentang cerdas ideologi. Entah bagimana bunyi judulnya.

Coba simak apa itu ‘sehat ideologi’.

Kita bayangkan secara sederhana, simple. Tidak pakai lama atau tak perlu mikir. Semakin banyak partai apakah menjamin percepatan perwujudan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bagian akhir alenia kedua Pembukaan (preambule) UUD NRI 1945. Bahasa hukum, bahasa politik yang masih terbuka.

Berapa biaya hidup sebuah partai politik.

Balik ke hakikat judul. Jadi, ideologi nasional Pancasila sepertinya dipilah-pilah. Tiap sila, atau lambangnya menjadi dasar dideklarasikannya sebuah partai politik. Idealnya, partai politik lokal dalam skala provinsi akan lebih membumi, menapak. Sesuai kebutuhan dan kemampuan nyata provinsi. Peningkatan hakikat otonomi daerah.

Total kopral, biaya politik, biaya demokrasi tak termasuk biaya dan atau ongkos perkara pemilu legislatif, pilkada maupun pilpres. Malah menjadi daya tarik anak bangsa pribumi berpetualang di panggung politik.

Ironis binti miris. Paket atau menu politik Nusantara hanya sarat dengan saraf dan syahwat politik berkesejahteraan bagi pelakunya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar