Indonesia boros ideologi
dan berat di ongkos
Cerita dimulai dari Pancasila, bikin bosan. Diawali
ikhwal negara multipartai, sudah jemu. Praktik demokrasi sebagai pembuka,
semakin jenuh. Mengangkat tema NKRI harga mati, tidak ada seninya. Menggugah citra
pesona wibawa negara, langka barang baru. Mengungkit predikat petugas partai,
belum-belum muntah tujuh keliling. Serba salah.
Tidak bagi yang bersangkutan atau yang tak sengaja –
berada di tempat dan waktu yang salah – tersangkut. Dikarenakan, hukum yang
berlaku adalah bahwasanya nilai baik, kadar benar, moral bagus ditentukan oleh
jumlah suara terbanyak, mayoritas maupun aklamasi.
Pernah saya tayangkan tentang cerdas ideologi.
Entah bagimana bunyi judulnya.
Coba simak apa itu ‘sehat ideologi’.
Kita bayangkan secara sederhana, simple. Tidak pakai
lama atau tak perlu mikir. Semakin banyak partai
apakah menjamin percepatan perwujudan Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Bagian akhir alenia kedua Pembukaan (preambule) UUD
NRI 1945. Bahasa hukum, bahasa politik yang masih terbuka.
Berapa biaya hidup sebuah partai politik.
Balik ke hakikat judul. Jadi, ideologi nasional
Pancasila sepertinya dipilah-pilah. Tiap sila, atau lambangnya menjadi dasar
dideklarasikannya sebuah partai politik. Idealnya, partai politik lokal dalam
skala provinsi akan lebih membumi, menapak. Sesuai kebutuhan dan kemampuan
nyata provinsi. Peningkatan hakikat otonomi daerah.
Total kopral, biaya politik, biaya demokrasi tak
termasuk biaya dan atau ongkos perkara pemilu legislatif, pilkada maupun
pilpres. Malah menjadi daya tarik anak bangsa pribumi berpetualang di panggung
politik.
Ironis binti miris. Paket atau menu politik
Nusantara hanya sarat dengan saraf dan syahwat politik berkesejahteraan bagi
pelakunya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar