utamakan
hak politik pemilih
Politik
buka tutup untuk mengatisipasi macet dadakan. Sisi lain diberlakukan kontra
flow, pengalihan isu strategis, penerapan tanggal kelahiran ganjil dan atau
genap, maupun hari bebas polusi knalpot.
Ikrar
damai di mulut namun bara dendam di hati, menjadi karakter loyalis penguasa.
Hak patén tak layak diungki-ungkit. Yèn diotak-atik iso maraké patén-paténan.
Pokoké kudhu menang.
Semakin
pemerintah menyelenggarakan pesta demokrasi, dipastikan selalu diiringi dengan
aneka kasus lama yang diperbarui. Belajar dari pemilu pertama di zaman Orde
Lama. Lanjut mengacu kisah sukses penguasa tunggal Orde Baru yang 6x hasil pemilu
tetap memposisikan presiden sebagai pengemban amanat MPR.
Pasca
bergulirnya orde reformasi, mulai dari puncaknya 21 Mei 1998, setelah pemilu 1999. Terjadilah kepala negara
atau presiden beserta wakilnya, dipilih langsung oleh rakyat. Rumus siap
menguasi teknik penghitungan suara. Tidak hanya itu, siapa yang mampu membaca
peta politik dengan segala analisanya.
Penentuan
siapa yang layak menang, diawali dengan pendaftaran parpol. Dengan dalih
seleksi, cara konstitusional mengurangi saingan sebelum bertanding. Sampai undi
nomor urut parpol.
Setelah
parpol masuk dalam perhitungan, modus berikuitnya merekayasa daftar pemilih
potensial. Pemilih pemula menjadi incaran dan obyek manipulasi. Pemilih pemula
2014, diharapkan bisa diarahkan. Jual beli suara diwarnai ultimatum, intimidasi
dari pihak yang paling berkepentingan. Kejahatan politik belum diatur oleh UU
atau hukum nasional.
Pilkada
serentak 2014-2019, semakin menyajikan peta politik yang nyata warna-warninya. Dinasti
politik, politik keluarga atau pemerintah bayangan membuat benderang dan tetap
eksis trah politik.
Dukungan
beberapa oknum kepala daerah terhadap capres presiden aktif, semakin
membuktikan adanya mabuk politik. Mereka lebih cinta dunia, daripada kenyataan
nilai-nilai kebenaran. Lupa. Benar dan baik di mata manusia politik, adalah
yang banyak memilih. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar