Halaman

Minggu, 16 September 2018

kisah si pemblusuk dan jin pengkabul satu permintaan dua periode


kisah si pemblusuk dan jin pengkabul satu permintaan dua periode

Hikayat fiktif ini tidak ada kaitan moral Pancasila dengan pariwara di layar kaca. Pemirsa boleh membayangkan ada jin memakai pakaian adat Jawa. Karena bukan ketua umum partai jin, makanya jin dimaksud hanya mampu mengkabulkan satu permintaan saja.

Lepas dimana jin itu dipenjara. Apakah bak lampu wasiat Aladin. Atau terkungkung di botol kemasan plastik air mineral di TPA sampah masyarakat. Kayaknya tidak penting ditelusuri. Apalagi dimana tempat kejadiannya.

Ada pihak yang penasaran dengan tayangan promo atau pembodohan oleh penguasa TIK. Diam-diam berharap bisa sua jin macam itu. Walau hanya satu permintaan.  Karena  memang sangat didambakan. Siap mati-matian menemukan lokasi arau sarang jin. Siapa duga jin istana lebih ampuh. Lebih mujarab ketimbang jin rakyat.

Berbekal pengalaman jelajah Nusantara secara formal. Pihak keluarga adem ayem. Ditanya kepala keluarga yang juga kepala negara yang masih aktif, sejak pagi tidak tampak dua lubang hidungnya. Hanya senyum penuh isyarat dan tipu muslihat.

Tidak tahunya, kepala negara yang dimaksud hanya berputar-putar di area perkebunan istana negara. Menyamar atau tidak, nyatanya CCTV tidak mampu merekam. Intelijen sudah kehabisan daya endus, daya lacak.

Karena keluarga tidak heboh, kasus ditutup sebelum diendapkan.

Kembali ke perjuangan si pemblusuk. Tanpa senagaja ybs menemukan dompet berlogo “hanya untuk masyarakat miskin”. Penasaran total. Dibuka dengan penuh harap dan asa. Sesuai skenario pariwara politik, muncul asap merah. Menjelma menjadi jin genit bergaun merah, dengan gaya bahasa asing ditelinganya.

Si pemblusuk girang teramat girang. Yakin cita-cita mulianya terkabul. Sebelum ditanya, langsung ajukan mosi atau permintaan atau perintah.

“Aku ingin dua periode!!!”,ujarnya mantap dengan atau tanpa terkekeh. Sambil membuka kedok dan busana samarannya. Jin merah tampak bingung binti linglung. Mungkin karena beda bahasa. Jin membuka kamus politiknya.

“Om, apa itu dua periode, menu makanankah?” Jawab jin merah sambil senyum di hidung. Alias berfikir sesuai logika politiknya.

“Bukan makanan, mbah jin”, jawab presiden petahana. Tepuk jidat sambil terkekeh mencari pegangan. Kalau kondisi seperti ini, sudah ada pihak yang tanggap. Modal percaya dan yakin diri, lanjut ujaran penjelasan:

“Itu mbah jin, yang kemaksud adalah kursi presiden untuk periode kedua”. Singkat tanpa bahasa tubuh maupun main tunjuk.

Jin merah lebih terkekeh, biar tampak dong banget. Jin tak mauk kalah soal tepuk jidat dan unjuk gigi. Tanpa air mata buaya, jin berujar ringan:

“Cuma sebegitunya. Kecil kawan. Terimalah . . . . “, sambil tangan memberi kode ke angkasa. Sontak, munculah ‘kursi presiden’ yang diminta di pemblusuk.

Kamprèt tenan kowé mbokdé, iki kursi daganganku, malah koq jupuk”, gerutu penguasa 2014-2019. Jin merah sudah kabur sejak tadi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar