kisah
si pemblusuk dan jin pengkabul satu permintaan dua periode
Hikayat fiktif ini tidak ada kaitan
moral Pancasila dengan pariwara di layar kaca. Pemirsa boleh membayangkan ada
jin memakai pakaian adat Jawa. Karena bukan ketua umum partai jin, makanya jin
dimaksud hanya mampu mengkabulkan satu permintaan saja.
Lepas dimana jin itu dipenjara. Apakah
bak lampu wasiat Aladin. Atau terkungkung di botol kemasan plastik air mineral
di TPA sampah masyarakat. Kayaknya tidak penting ditelusuri. Apalagi dimana
tempat kejadiannya.
Ada pihak yang penasaran dengan
tayangan promo atau pembodohan oleh penguasa TIK. Diam-diam berharap bisa sua
jin macam itu. Walau hanya satu permintaan. Karena memang sangat didambakan. Siap mati-matian
menemukan lokasi arau sarang jin. Siapa duga jin istana lebih ampuh. Lebih mujarab
ketimbang jin rakyat.
Berbekal pengalaman jelajah
Nusantara secara formal. Pihak keluarga adem ayem. Ditanya kepala keluarga yang
juga kepala negara yang masih aktif, sejak pagi tidak tampak dua lubang
hidungnya. Hanya senyum penuh isyarat dan tipu muslihat.
Tidak tahunya, kepala negara yang
dimaksud hanya berputar-putar di area perkebunan istana negara. Menyamar atau
tidak, nyatanya CCTV tidak mampu merekam. Intelijen sudah kehabisan daya endus,
daya lacak.
Karena keluarga tidak heboh, kasus
ditutup sebelum diendapkan.
Kembali ke perjuangan si pemblusuk. Tanpa
senagaja ybs menemukan dompet berlogo “hanya untuk masyarakat miskin”. Penasaran
total. Dibuka dengan penuh harap dan asa. Sesuai skenario pariwara politik,
muncul asap merah. Menjelma menjadi jin genit bergaun merah, dengan gaya bahasa
asing ditelinganya.
Si pemblusuk girang teramat girang. Yakin
cita-cita mulianya terkabul. Sebelum ditanya, langsung ajukan mosi atau
permintaan atau perintah.
“Aku ingin dua periode!!!”,ujarnya
mantap dengan atau tanpa terkekeh. Sambil membuka kedok dan busana samarannya. Jin
merah tampak bingung binti linglung. Mungkin karena beda bahasa. Jin membuka
kamus politiknya.
“Om, apa itu dua periode, menu
makanankah?” Jawab jin merah sambil senyum di hidung. Alias berfikir sesuai
logika politiknya.
“Bukan makanan, mbah jin”, jawab
presiden petahana. Tepuk jidat sambil terkekeh mencari pegangan. Kalau kondisi
seperti ini, sudah ada pihak yang tanggap. Modal percaya dan yakin diri, lanjut
ujaran penjelasan:
“Itu mbah jin, yang kemaksud adalah
kursi presiden untuk periode kedua”. Singkat tanpa bahasa tubuh maupun main
tunjuk.
Jin merah lebih terkekeh, biar
tampak dong banget. Jin tak mauk kalah soal tepuk jidat dan unjuk gigi. Tanpa
air mata buaya, jin berujar ringan:
“Cuma sebegitunya. Kecil kawan.
Terimalah . . . . “, sambil tangan memberi kode ke angkasa. Sontak, munculah ‘kursi
presiden’ yang diminta di pemblusuk.
“Kamprèt tenan kowé mbokdé,
iki kursi daganganku, malah koq jupuk”, gerutu penguasa 2014-2019. Jin merah
sudah kabur sejak tadi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar