Halaman

Minggu, 30 September 2018

mengundang tamu tak diundang


mengundang tamu tak diundang

Rumah tangga tidak sekedar wadah, wahana, fasilitas  fisik keluarga yang merupakan komponen lingkungan hidup. Aneka interaksi rumah tinggal dengan lingkungan, mulai skala Rukun Tetangga, tak terelakkan dengan segala efek, dampaknya.

Modul ini menjadi pola dasar kehidupan bermasyarakat. Tata masyarakat membutuhkan dukungan formal agar kehidupan sesuai dengan standar layak hidup. Lahan yang semula menjadi tempat padi tumbuh, disulap menjadi hunian. Air hujan yang semula bebas meresap ke bumi, menjadi terseleksi.

Teknologi yang dipakai untuk menunjang, memudahkan aktivitas manusia bisa menjadi beban. Sebut saja aturan buang sampah. Teknologi sederhana untuk membuat kompos rumah tangga, terkendala luas pekarangan. Akhirnya, warga mengandalkan bak sampah. Di pihak lain, pemerintah tanggap dengan menerapkan rétribusi.

Akhirnya modus bersih lingkungan, diserahkan ke kekuatan pasar. Pelaku utama yaitu petugas partai kebersihan bisa jual mahal. Bak sampah hanya untuk sampah dapur. Di luar pasal tadi, tidak akan diangkut. Kecuali ada biaya politik.

Tadi memang lagu lama. Kembali ke langgam jadul. Sampah dapur menjadi daya tarik tamu asing alias tikus dan kroninya. Penghuni rumah sibuk pasang perangkap, tebar racun, pasang alat usir tikus elektronik sampai sewa jasa.

Sampah sisa makanan dimasukkan ke kantong plastik. Tunggu masa tunggu, buang ke bak sampah. Di bak sampah, kucing dan musuhnya siap main bongkar buang. Pemulung punya sasaran lain, non-organik. Pengelolaan Sampah agar konstitusional, sudah ada UU-nya.

Jadi selama dapur masih tersedia sampah sisa makanan, bagaimana pun juga ada pasal dan sanksi tegas bagi tikus yang terkena OTT. Tidak mempan kawan. Sesusai pepatah kuno,  ada tidak ada peluang, tikus tetap korup.

Jangan menjadikan tikus ditunjuk sebagai kambing hitam. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar