mengundang
tamu tak diundang
Rumah
tangga tidak sekedar wadah, wahana, fasilitas fisik keluarga yang merupakan komponen
lingkungan hidup. Aneka interaksi rumah tinggal dengan lingkungan, mulai skala
Rukun Tetangga, tak terelakkan dengan segala efek, dampaknya.
Modul
ini menjadi pola dasar kehidupan bermasyarakat. Tata masyarakat membutuhkan
dukungan formal agar kehidupan sesuai dengan standar layak hidup. Lahan yang
semula menjadi tempat padi tumbuh, disulap menjadi hunian. Air hujan yang
semula bebas meresap ke bumi, menjadi terseleksi.
Teknologi
yang dipakai untuk menunjang, memudahkan aktivitas manusia bisa menjadi beban. Sebut
saja aturan buang sampah. Teknologi sederhana untuk membuat kompos rumah
tangga, terkendala luas pekarangan. Akhirnya, warga mengandalkan bak sampah. Di
pihak lain, pemerintah tanggap dengan menerapkan rétribusi.
Akhirnya
modus bersih lingkungan, diserahkan ke kekuatan pasar. Pelaku utama yaitu
petugas partai kebersihan bisa jual mahal. Bak sampah hanya untuk sampah dapur.
Di luar pasal tadi, tidak akan diangkut. Kecuali ada biaya politik.
Tadi
memang lagu lama. Kembali ke langgam jadul. Sampah dapur menjadi daya tarik
tamu asing alias tikus dan kroninya. Penghuni rumah sibuk pasang perangkap,
tebar racun, pasang alat usir tikus elektronik sampai sewa jasa.
Sampah
sisa makanan dimasukkan ke kantong plastik. Tunggu masa tunggu, buang ke bak
sampah. Di bak sampah, kucing dan musuhnya siap main bongkar buang. Pemulung punya
sasaran lain, non-organik. Pengelolaan Sampah agar konstitusional, sudah ada
UU-nya.
Jadi
selama dapur masih tersedia sampah sisa makanan, bagaimana pun juga ada pasal dan
sanksi tegas bagi tikus yang terkena OTT. Tidak mempan kawan. Sesusai pepatah
kuno, ada tidak ada peluang, tikus tetap
korup.
Jangan
menjadikan tikus ditunjuk sebagai kambing hitam. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar