gadis modis, beli nasi
saja 5000 rupiah . . .
Menyoal
urusan isi perut, menjadi bagian nyata dari HAM. Pola makan bersifat
dinamis, kondisional. Penyimpangan dari dalil kesehatan, medis, asas ideal jam
makan maupun jaga asupan, tidak serta masuk tindak pidana.
Tètèk bengèk kode etik makan, tergantung suhu politik
dan kebijakan lokal. Larangan tidak ada jabatan rangkap saat sebagai pemakan
dengan kegiatan lainnya, dilanggar tidak ada dampak segera. Etika makan yang
menunjukkan peradaban diri, sekedar tahu saja.
Adab makan pun, acap dilanggar. Makan sambil
berdiri. Kunyah ringan asal sudah bisa ditelan. Digelontor minuman ringan atau
air kosong.
Rasanya, rangkaian kalimat belum mendukung judul. Dukungan
atau pengakuan atas eksistensi judul, tidak perlu resmi, formal, nyata. Belum selesai
menulis, judul bisa mengalami perombakan. Pemerataan substansi dan pemberian
kesempatan berekspresi bagi kalimat tidak baku, tapi enak dicerna.
Kejadian perkara ringan terjadi di sebuah warung Tegal
(warteg). Manusia yang terlibat memang trah ras Ortega (orang Tegal aseli). Menu
santapan, umum tapi khas Tegal. Bukan merek dagang.
Lokasi warteg, tidak ada kriteria baku. Di mana ada
kumpulan orang, menjadi syarat utama. Tidak ada jam praktik resmi. Pelayanan cepat
saji, cepat hidang tidak serta merta terjadi pengawetan. Porsi yang dimasak
diperhitungkan cukup sehari, pada hari kerja. Lauk tidak habis, pintu warteg
siap diketuk. Merangkap jadi tempat tinggal.
Pembelinya bukan pembeli fanatik. Semua lapisan
penduduk, klas masyarakat, strata warga negara tak merasa turun derajat jika
mampir. Tak ada gengsi-gengsian. Mau gengsi perut tetap tak terisi. Makan gengsi
demi perut. Mau makan di tempat atau dibungkus. Menerima pesanan partai gurem,
sedang atau model paket.
Saya termasuk yang tidak termasuk pembeli rutin. Pas
lapar pun belum tentu bersegera mampir. Berlokasi di jalan masuk komplek
perumahan. Butuh lauk sayur atau pasal lain, sengaja berkunjung. Warga bermobil,
pulang malam ada yang mampir. Pesan atau tinggal ambil pesanan.
Bakda isya’ di masjid komplek. Perut memberi
sinyal. Berharap masih ada sayur. Jalan kai cepat sambil buka busana. Pakai kaos,
menyerap keringat. Lauk standar rakyat masih terpajang. Sayur dimaksud tinggal
porsi terakhir. Bingung menentukan pilihan. Pilih dua sayur. Minta tambah kuah.
Penjual sibuk membungkus nasi, terasa di sebelah
kiri saya ada orang masuk. Diam menunggu giliran atau kondisi aman. Usai saya
bayar, calon pembeli tadi, dengan suara lirih berucap sesuai judul. Ketika kulirik,
memang tampilannya sesuai judul. Pulang kerja agaknya.
Model motor yang diparkir, sesuai tongkrongannya. Anak
kuliah jelas bukan. Ibu rumga juga bukan. Anak kosan, masih juga bukan. Minimal,
ada daya dalam yang membuat saya menulis sesuai judul. Judul langsung jadi dan
yakin. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar