Halaman

Sabtu, 08 September 2018

tak ikut ping-pong, karena tak bisa teriak



Kerukunan warga di kompleks perumahan BTN, karena sesama pendatang, tak terelakkan. Lokasi yang terjangkau oleh pengembang saat itu, bekas sawah. Mestinya di daerah yang agak rendah. Sungai pemasok irigasi, akhirnya membelah kawasan perumahan menjadi 2 RW.

Bukan kebetulan. Sungai juga sebagai batas kelurahan. Masih satu kecamatan. Banyaknya pendatang menjadikan kelurahan dibagi dua. Tidak hanya itu, akhirnya beberapa kecamatan yang non-agraris memisahkan diri dari kabupaten. Menjadi kota baru.

Soal waktu yang sudah kami habuskan bersama. Pakai ukuran tetangga. Jangan lupa. Sebagai pendatang, warga didominasi keluarga baru. Atau pasutri dengan anak usia anak didik SD. Jadi, yang dulu anaknya SD, sekarang cucunya sudah kuliah. Maklum, kan sudah lima kali ganti presiden.

Masih karakter sebagai pendatang dengan heterogenitas keluarga. Akhirnya kaum bapak biasa sibuk menangani lingkungan skala RT. Bukannya tanpa proses kaderisasi. Anak zaman pemilik masa depannya, lebih tertarik pada bentuk komunitas gaul.

Acara demi acara, lebih banyak dikelola oleh bapak-bapak yang rata-rata sudah kakek-kakek. Bara paguyuban sejak awal, susah diredupkan. Tidak hanya acara formal, resmi negara atau lingkungan. Seksi sibuk selalu menjadi daya tarik.

Cerita kali ini, ada kegiatan pinng-pong. Awalnya iseng, memanfaatkan halaman kosong. Karena animo mengesankan. Akhirnya, dengan kesepakatan Ketua RT, maka ada rumah kosong yang belum pernah dihuni. Bahkan tak tahu siapa yang punya. Loss contact.

Gotong royong, tepatnya ada pemodal sulap halaman menjadi halaman serba guna. Jadwal utama adalah ping-pong. Terbentuklah komunitas atau klub ping-pong lintas RT.

Bukan kebetulan kalau lokasinya satu blok dengan rumah saya. Selisih 4 rumah. Karena dekat, bukannya saya malas bertandang.

Singkat kata, secara resmi saya bilang ke Ketua RT dan pengelola ping-pong, tidak bisa ikut. Sesuai judul. Tetap diminta konstrubusinya, datang nimbrung ngopi bareng. Silaturahmi antar warga. Justru alasannya saya menjadi pengingat agar rukun agawe santoso, dijaga dengan bijak. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar