Halaman

Senin, 19 Desember 2016

memahami skenario sluman-slumun slamet Jokowi-JK



memahami skenario sluman-slumun slamet Jokowi-JK

Peribahasa bahasa Jawa “sluman-slumun slamet”, tidak sekedar multitafsir, bisa menjadi multifungsi, multimanfaat. Artinya,  berkembang secara dinamis maupu fluktuatif, menyesuaikan zaman menjadi pegangan hidup, filosofi,  bagi manusia tertentu.

Karena sudah teruji secara tutun-temurun, maka adagium tersebut menjadi semacam pola pembenaran, terkait dengan hukum sebab-akibat. Nilai ampuhnya, kandungan kasiat mujarabnya sebagai daya dukung bagi orang yang berani bertindak serta berani menanggung risikonya. Katanya.

Watak Jawa yang antara lain grusa-grusu, ugal-ugalan, waton wani, bludhas-bludhus menyang sembarang paran, dilakoni. Walhasil, gaya blusak-blusuk, blusukan, keblusuk-nya Joko Widodo, secara pakem kejawen, sebagai tindakan sunah untuk menutupi, menambal, menyumpal maupun mengimbangi berbagai kewajiban yang masih melongo, melompong dan bolong-bolong.

Modus operandi sluman-slumun, karena sebagai ikhtiar atau usaha, upaya yang optimal, masyarakat Jawa yakin akan diganjar keselamatan oleh Allah. Semua ini merupakan perpaduan adat Jawa dengan syariat Islam.

Mungkin langkah catur politik Jokowi tidak popular atau malah kalah nekad dengan pembantunya atau bahkan kalah gertak dengan gebrakan sang wapres. JK tampak tampil plonga-plongo justru sebagai perwujudan nyali yang mirip dengan slogan hidup waton suloyo.

Jangan lupa kawan, ujar ki dalang Sobopawon, Jokowi memang ahlinya dalam memposisikan dan mengkondisikan dirinya sesuai peribahasa “dhemit ora ndulit, setan ora doyan”. Sebagai orang terakhir yang bertepuk tangan. Cikal bakal potensial penjegal Jokowi bukan dari lawan politiknya. Justru dari kalangan konco dw, bolo dw. Termasuk pihak yang digadang-gadang untuk menjadi loyalisnya. Memang bola politik tidak bisa ditebak apa bentuknya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar