memahami skenario sluman-slumun
slamet Jokowi-JK
Peribahasa bahasa Jawa “sluman-slumun slamet”, tidak sekedar multitafsir, bisa menjadi multifungsi,
multimanfaat. Artinya, berkembang secara
dinamis maupu fluktuatif, menyesuaikan zaman menjadi pegangan hidup,
filosofi, bagi manusia tertentu.
Karena sudah teruji secara tutun-temurun, maka adagium
tersebut menjadi semacam pola pembenaran, terkait dengan hukum sebab-akibat. Nilai
ampuhnya, kandungan kasiat mujarabnya sebagai daya dukung bagi orang yang
berani bertindak serta berani menanggung risikonya. Katanya.
Watak Jawa yang antara lain grusa-grusu, ugal-ugalan, waton
wani, bludhas-bludhus menyang
sembarang paran, dilakoni. Walhasil, gaya blusak-blusuk, blusukan, keblusuk-nya Joko Widodo, secara pakem
kejawen, sebagai tindakan sunah untuk menutupi, menambal, menyumpal maupun
mengimbangi berbagai kewajiban yang masih melongo,
melompong dan bolong-bolong.
Modus operandi sluman-slumun,
karena sebagai ikhtiar atau usaha, upaya yang optimal, masyarakat Jawa yakin
akan diganjar keselamatan oleh Allah. Semua ini merupakan perpaduan adat Jawa
dengan syariat Islam.
Mungkin langkah catur politik Jokowi tidak popular atau
malah kalah nekad dengan pembantunya atau bahkan kalah gertak dengan gebrakan
sang wapres. JK tampak tampil plonga-plongo
justru sebagai perwujudan nyali yang mirip dengan slogan hidup waton suloyo.
Jangan lupa kawan, ujar ki dalang Sobopawon, Jokowi
memang ahlinya dalam memposisikan dan mengkondisikan dirinya sesuai peribahasa “dhemit ora ndulit, setan ora doyan”. Sebagai
orang terakhir yang bertepuk tangan. Cikal bakal potensial penjegal Jokowi bukan
dari lawan politiknya. Justru dari kalangan konco
dw, bolo dw. Termasuk pihak yang digadang-gadang
untuk menjadi loyalisnya. Memang bola politik tidak bisa ditebak apa bentuknya.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar