Halaman

Kamis, 28 April 2016

generasi silau atau generasi galau masa depan

generasi silau atau generasi galau masa depan

Beberapa anak SD menggerombol di depan rumah sebelah kiri saya. Berdiri, ada yang sibuk dengan sepedanya. Berbicara dengan suara dan nada keras, tetapi anak yang lain, pendengar, nyaris tak terdengar suaranya.

“Nanti kalau kuliah, cari yang pakai hitung-hitungan atau yang menggunakan bahasa. Temanku yang ranking, pintar hitungan tapi bahasanya jelek.” Kalimat yang kutangkap. Entah siapa yang berceloteh. Tidak jelas apa yang dibicarakan, nampak diskusi berlanjut hangat.

“Ayahku hidup dari menggunakan bahasa. Sebagai pengacara. Kata ayah, hidup harus menguasai bahasa, harus pandai ngomong.” Sergah satu satu anak. Pembicaraan diselingi gelak mentertawakan omongan temannya. Bernada meremehkan.

Perbincangan semakin  menjadi, karena tetangga yang haji sedang menyapu jalan ikut menimbrung obrolan cucunya. “Yang penting jangan mau jadi apa. Bisanya apa?”.

Anak zaman sekarang, bak bara disiram premium. Menjawab atau ngotot sama saja : “Tapi, orang tua saya, bisa pergi kemana saja?”. Riuhnya anak, banyak percakapan yang tak tedengar. Hanya hingar bingar anak menceritakan kerja orang tuanya.

Suara bertambah, karena ada yang lewat, ikut nimbrung. Pendatang termasuk golongan bau tanah, namun emosinya masih utuh.

“Begini saja, saat kalian masih anak, ikuti saja. Jangan membayangkan yang jauh-jauh. SD saja belum tamat.”. Kata pendatang dengan suara dibuat keren, seperti menasihati cucunya.

Agaknya gerombolan anak bertambah. Malah jadi ajang debat antar generasi. Generasi cucu dengan generasi kakek.

Yang mengusik lamunan saya, ternyata betapa anak SD sudah mulai membayangkan masa depannya. Minimal sudah menerawang mau kuliah seperti apa. Mereka terpengaruh gaya santai orang tuanya. Santai tapi sebagai anak merasa orang tuanya kaya, rumah bagus, punya mobil. Yang lain, orang tuanya pagi-pagi sudah meninggalkan rumah, cuma punya motor, kata sebagian anak.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar