generasi silau atau
generasi galau masa depan
Beberapa anak SD menggerombol di depan rumah sebelah kiri
saya. Berdiri, ada yang sibuk dengan sepedanya. Berbicara dengan suara dan nada
keras, tetapi anak yang lain, pendengar, nyaris tak terdengar suaranya.
“Nanti kalau kuliah, cari yang pakai hitung-hitungan
atau yang menggunakan bahasa. Temanku yang ranking, pintar hitungan tapi
bahasanya jelek.” Kalimat yang kutangkap. Entah siapa yang berceloteh. Tidak
jelas apa yang dibicarakan, nampak diskusi berlanjut hangat.
“Ayahku hidup dari menggunakan bahasa. Sebagai
pengacara. Kata ayah, hidup harus menguasai bahasa, harus pandai ngomong.”
Sergah satu satu anak. Pembicaraan diselingi gelak mentertawakan omongan
temannya. Bernada meremehkan.
Perbincangan semakin
menjadi, karena tetangga yang haji sedang menyapu jalan ikut menimbrung
obrolan cucunya. “Yang penting jangan mau jadi apa. Bisanya apa?”.
Anak zaman sekarang, bak bara disiram premium.
Menjawab atau ngotot sama saja : “Tapi, orang tua saya, bisa pergi kemana saja?”.
Riuhnya anak, banyak percakapan yang tak tedengar. Hanya hingar bingar anak
menceritakan kerja orang tuanya.
Suara bertambah, karena ada yang lewat, ikut nimbrung.
Pendatang termasuk golongan bau tanah, namun emosinya masih utuh.
“Begini saja, saat kalian masih anak, ikuti saja.
Jangan membayangkan yang jauh-jauh. SD saja belum tamat.”. Kata pendatang
dengan suara dibuat keren, seperti menasihati cucunya.
Agaknya gerombolan anak bertambah. Malah jadi ajang
debat antar generasi. Generasi cucu dengan generasi kakek.
Yang mengusik lamunan saya, ternyata betapa anak SD
sudah mulai membayangkan masa depannya. Minimal sudah menerawang mau kuliah
seperti apa. Mereka terpengaruh gaya santai orang tuanya. Santai tapi sebagai
anak merasa orang tuanya kaya, rumah bagus, punya mobil. Yang lain, orang
tuanya pagi-pagi sudah meninggalkan rumah, cuma punya motor, kata sebagian
anak.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar