Halaman

Selasa, 19 April 2016

dikotomi demokrasi reformasi, politik pejuang vs pejuang politik

dikotomi demokrasi reformasi, politik pejuang vs pejuang politik
.
Eksistensi, jati diri, esensi demokrasi di Indonesia bisa dilacak pada pra dan pasca pesta demokrasi. Apapaun yang terjadi, kita wajib bersyukur, masih ada anak bangsa berkiprah dalam dewan kemakmuran Nusantara. Tanpa pamrih, berjibaku di yayasan Indonesia sejahtera. Bahkan oknum anak bangsa yang pernah masuk tataran wakil presiden dan/atas presiden masih belum puas untuk menyumbangkan akal pikirannya.Tepatnya, dengan modal akal politik, masih ingin tetap eksis di jagad politik.

Paradigma, superdogma yang merasukinya, cukup sederhana, yaitu untuk berbuat banyak untuk bangsa dan negara harus jadi kepala negara. Minimal jadi penguasa, atau jadi dalang intelektual di belakang layar. Khazanah politik Nusantara semakin dinamis, tanpa batas dan norma, muncul aroma irama poltik : petugas partai, bandar politik, presiden senior, supermenteri. Inilah yang membedakan pejuang tanah air dengan pejuang politik.

Pahlawan tak dikenal sebagai pejuang revolusi. Pejuang lintas zaman, yang tetap menegakkan eksisten NKRI. Lewat jalur sunyi, pilih kendaraan senyap, mereka tetap peras keringat demi nusa dan bangsa. Pejuang politik baru dikenal namanya, setelah berurusan dengan pihak berwajib. Tertangkap tangan KPK. Kena garukan dan razia penyakit masyarakat. Kalau duduk manis, terkantuk-kantuk di sidang wakil rakyat, itu konsekuensi logis akibat seringa blusukan nyambangi dapil-nya. Menjaring dan menyaring aspirasi rakyat secara langsung.

Media massa acap menyuguhkan berita, betapa pejuang politik masuk ke semua bidang garap, merambah ke berbagai urusan dunia. Melebihi kutu loncat. Bisa nangkring dan nongkrong di mana saja, mampu membawakan peran apa saja, yang penting aliran Rp mengarah ke alamat rekeningnya. Tampil dengan atribut dan kebesaran apa saja, tidak harus di partai. Gurita partai bisa mengendalikan berbagai kehidupan berbangsa da bernegara. Melalui jalur formal, legal, halal dan konstitusional.

Rekam jejak sebagai pejuang politik terletak pada kemampuan modus operandi  berkelit, mengindar, mengelak jebakan dan jeratan pasal hukum. Dalih loyal, patuh, setia, taat, pada kebijakan partai tetap diutamakan. Terkhusus tunduk kepada oknum ketua umum partai tanpa pikir panjang.

Pejuang berbasis wong cilik, kalah pamor kalah tersohor dengan pejuang politik, yang berhasil mengkibarkan bendera partai di istana negara. Nasib rakyat tergantung daya juang wakil rakyat. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Jangan disalahkan jika rakyat menggeliat, rakyat bangkit, rakyat turun ke jalan, melakukan unjuk raga dan unjuk rasa. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar