Halaman

Rabu, 27 April 2016

dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, utamakan keselamatan anak vs utamakan kebijakan partai

dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, utamakan keselamatan anak vs utamakan kebijakan partai


Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) atau KHA, telah disahkan sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in force) pada tanggal 2 September 1990. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani KHA di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990. KHA terdiri atas 54 Pasal yang nyaris merupaka pasal pelindung anak secara mendunia. Praktiknya terserah kebijakan negara peserta.

KHA merupakan instrumen yang merumuskan berbagai prinsip yang universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Merupakan perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak budaya. KHA telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres 36/1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Dengan ratifikasi tersebut artinya Indonesia sudah melakukan kesepakatan untuk terikat secara yuridis dan politis atas konvensi tersebut, sehingga negara Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi setiap hak anak sesuai dengan yang dimandatkan KHA.

Betapa negara melindungi anak, mulai dari produk hukum, mulai UUD NRI 1945, UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Keppres 36/1990 berlanjut dengan Keppres 87/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, dan Keppres 88/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Tak terkecuali Perpres 18/2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dalam Konflik Sosial.

Pemerintah telah menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984.

Kabinet Kerja Periode 2014 – 2019 terdapat nomenklatur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (pengawal utama revolusi mental). Dengan kata lain, penanganan masalah anak secara formal masuk bagian revolusi mental. Kurang apa digdayanya?

 Kajian yang mengatakan bahwa nasib dan kesejahteraan anak belum banyak berubah, terlebih pada aspek yang terkait dengan perlakuan orang tua terhadap anak, yang membuat anak merasa aman dan nyaman tinggal di lingkungan keluarganya.

Fakta atau imajinasi. Aku anak Indonesia, hadapi ancaman setiap waktu. Hadapi bahaya setiap saat. Ironis, bom waktu disekitar dunia anak Indonesia. Ranjau darat bertebaran di sekolah, jalanan, rumah tinggal. Jajanan mengandung perasa sintetis, pewarna non-konsumsi, pengawet. Di rumah, paket sinetron berbasis KDRT, adegan tak layak tonton anak. Sergapan video porno, gim daring bernuansa siapa kuat akan menang. Di jalanan atau kota bisa seolah tak ramah anak. Serbuan budaya asing yang langsung sampai pelosok, pojok Nusantara tak tersaring. Walau acap jatuh korban, kebobolan siang hari, pemerintah sudah kebal dari kebakaran jenggot.

Bukannya tidak peduli. Selain kementerian, terdapat Komisi Nasional Perlidungan Anak yang ikut berkontribusi dalam penanganan anak. Wakil rakyat pun juga mempunyai tugas dan fungsi membidangi dunia anak. Ada masalah besar bangsa menghadang di depan mata. Utamakan eksistensi, jati diri, martabat pemain, pelaku, pemain politik di mata dunia. Jangan sampai penyelenggara negara kapiran. Jangan sampai parpol juara umum pesta demokrasi 2014, kehilangan pamor.

Dunia anak terkontaminasi dari hulu hingga hilir, sejak dari rumah tangga /keluarga, sampai sekolah. Asal penyelenggara negara (baca : yang berasal dari kawanan parpolis) jangan ikut-ikutan menjadi korban berikutnya !!! [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar