potret manusia Indonesia tunaideologi
Akibat musim kering dan kemarau
berkepanjangan, dampak konflik bersenjata tak berkesudahan, ekses perebutan
kekuasaan antar suku bangsa tak kunjung padam, efek campur tangan dan
intervensi asing dengan dalih HAM, terdapat penduduk suatu negara dengan manusia
kurus kering, tinggal kulit dan tulang-belulang. Didramatisir oleh PBB sebagai
tengkorak hidup, dianggap tragedi kemanusiaan yang wajar sesuai prosedur.
Sebaran sosok manusia bak rangka hidup, bisa
terjadi akibat politik isolasi diri, embargo negara supermaju terhadap negara
sedang berkembang, atau gagal panen karena memakai pupuk impor. Ironisnya, jika
negara yang mempunyai penduduk di bawah kemiskinan, kemiskinan akut ditarik ke
atas, bagaimana kondisi ekonomi, sosial pemimpin negaranya – bisa-bisa bisa
terbukti fakta kontradiktif.
Kita bersyukur, Indonesia jauh dari kondisi
yang digambarkan di atas. Tanah air Indonesia sedemikan makmur, sehingga bisa
mensejahterakan bangsa lain dengan percuma. Kekayaan alam Indonesia menjadi
ajang jarahan dan penjajahan bangsa lain, khususnya negara adidaya. Konglomerat
Indonesia percaya kepada ketulusan negara lain dengan memarkirkan harta
kekayaannya dengan pajak wajar, tahu sama tahu.
Kekayaan idelogi Indonesia juga sangat
nelimpah ruah. Tiap periode kepemimpinan nasional menghadirkan tipologi ideologinya. Mulai dari
nasakom, rasionalisasi atau penyederhanaan jumlah partai, negara multipartai,
entah apalagi sekarang yang sedang marak. Akhirnya, ideologi berbasis kekuasaan
mengkungkung dan mengkengkang diri sendiri. Demokrasi perwakilan mengutamakan
dan mengedepankan mahzab ‘mewakili kepentingan diri sendiri’.
Manusia Indonesia dari berbagai pelosok tanah
air, dari berbagai sosok strata, kasta sosial, dari berbagai aliran ideologi,
jika dipotret multidimensi, atau entah mana sebutan yang cocok, hasilnya cukup
mencengangkan para ahli gizi dan nutrisi.
Betapa tidak, manusia Indonesia yang kaya
ideologi, ternyata potret para cecunguk politik/pecundang politik (mulai dari bandar
politik, presiden senior, supermenteri, mantan presiden, bekas wakil presiden,
pewaris politik dalam negeri sampai politisi abal-abal) yang sibuk berjibaku di
panggung, pentas, industri, syahwat politik, malah menampakkan sosok yang kurus
kering karena tunaideologi. Ternyata asupan, pasokan ideoliginya miskin gizi
dan nutrisi.
Daya ideologi penyelenggara negara tersedot,
terkuras habis karena memikirkan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan. Bagaimana
agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan orang lain yang tidak jelas batang
hidungnya.
Kita bersyukur, jika potret tadi ditarik ke
bawah, malah mendapatkan sosok rakyat, walau tampilan sederhana karena memang
rakyat, tetapi kaya ideologi. Dengan ideologi ala rakyat, mereka tetap eksis. Ideologi
tanpa pamrih, bekerja sebagai pengabdian kepada bangsa dan negara, mencari
rezeki secukup ukuran perut, menjaga persatuan dengan saling menghormati hak
individu, menerapkan adab bemasyarakat. Itulah potret Indonesia-ku.
Indonesia-mu bagaimana kawan.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar