Halaman

Jumat, 08 April 2016

potret manusia Indonesia tunaideologi

potret manusia Indonesia tunaideologi

Akibat musim kering dan kemarau berkepanjangan, dampak konflik bersenjata tak berkesudahan, ekses perebutan kekuasaan antar suku bangsa tak kunjung padam, efek campur tangan dan intervensi asing dengan dalih HAM, terdapat penduduk suatu negara dengan manusia kurus kering, tinggal kulit dan tulang-belulang. Didramatisir oleh PBB sebagai tengkorak hidup, dianggap tragedi kemanusiaan yang wajar sesuai prosedur.

Sebaran sosok manusia bak rangka hidup, bisa terjadi akibat politik isolasi diri, embargo negara supermaju terhadap negara sedang berkembang, atau gagal panen karena memakai pupuk impor. Ironisnya, jika negara yang mempunyai penduduk di bawah kemiskinan, kemiskinan akut ditarik ke atas, bagaimana kondisi ekonomi, sosial pemimpin negaranya – bisa-bisa bisa terbukti fakta kontradiktif.

Kita bersyukur, Indonesia jauh dari kondisi yang digambarkan di atas. Tanah air Indonesia sedemikan makmur, sehingga bisa mensejahterakan bangsa lain dengan percuma. Kekayaan alam Indonesia menjadi ajang jarahan dan penjajahan bangsa lain, khususnya negara adidaya. Konglomerat Indonesia percaya kepada ketulusan negara lain dengan memarkirkan harta kekayaannya dengan pajak wajar, tahu sama tahu.

Kekayaan idelogi Indonesia juga sangat nelimpah ruah. Tiap periode kepemimpinan nasional  menghadirkan tipologi ideologinya. Mulai dari nasakom, rasionalisasi atau penyederhanaan jumlah partai, negara multipartai, entah apalagi sekarang yang sedang marak. Akhirnya, ideologi berbasis kekuasaan mengkungkung dan mengkengkang diri sendiri. Demokrasi perwakilan mengutamakan dan mengedepankan mahzab ‘mewakili kepentingan diri sendiri’.

Manusia Indonesia dari berbagai pelosok tanah air, dari berbagai sosok strata, kasta sosial, dari berbagai aliran ideologi, jika dipotret multidimensi, atau entah mana sebutan yang cocok, hasilnya cukup mencengangkan para ahli gizi dan nutrisi.

Betapa tidak, manusia Indonesia yang kaya ideologi, ternyata potret para cecunguk politik/pecundang politik (mulai dari bandar politik, presiden senior, supermenteri, mantan presiden, bekas wakil presiden, pewaris politik dalam negeri sampai politisi abal-abal) yang sibuk berjibaku di panggung, pentas, industri, syahwat politik, malah menampakkan sosok yang kurus kering karena tunaideologi. Ternyata asupan, pasokan ideoliginya miskin gizi dan nutrisi.

Daya ideologi penyelenggara negara tersedot, terkuras habis karena memikirkan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan. Bagaimana agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan orang lain yang tidak jelas batang hidungnya.

Kita bersyukur, jika potret tadi ditarik ke bawah, malah mendapatkan sosok rakyat, walau tampilan sederhana karena memang rakyat, tetapi kaya ideologi. Dengan ideologi ala rakyat, mereka tetap eksis. Ideologi tanpa pamrih, bekerja sebagai pengabdian kepada bangsa dan negara, mencari rezeki secukup ukuran perut, menjaga persatuan dengan saling menghormati hak individu, menerapkan adab bemasyarakat. Itulah potret Indonesia-ku. Indonesia-mu bagaimana kawan.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar