produk teknologi
informasi dan komunikasi menjajah anak sekolah
Pengguna
produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak identik dengan profesi,
tidak dimonopoli kelompok usia, tidak didominasi strata sosial. Di jalan, di
tempat umum, di angkutan umum, kita saksikan tangan orang sibuk dengan gadget. Gadget
bukan barang mewah. Ingin merasakan TIK secara murah meriah, mampir ke warnet.
Suasana
keluarga terbentuk dengan kegiatan ayah, ibu, anak sibuk dengan gadget sesuai
kebutuhan. Tak kurang cerita, begitu sampai rumah, orang masih sibuk dengan
gadget. Tak salah jika dampak pengguna TIK genggam masuk kategori anti-sosial.
Dampak semakin
nyata, jika anak sekolah menggunakan produk TIK tidak untuk menunjang budaya
literasi, budaya baca tulis. Sebagian besar proses pendidikan formal berbasis pada
kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang ditanamkan pada diri
peserta didik sejak dini, diyakini mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di
sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Program game online sangat dinamis,
berkembang melampaui imajinasi pengguna. Media massa tanpa sadar mempromosikan game
baru berbagai versi dengan kelebihannya. Pengguna atau pemain game online
dari kalangan anak sekolah, yang sudah tidak gaptek, dengan mudah mencerna.
Kurang puas bisa mengunduh dari internet.
Anak sekolah tekun sekedar mengisi waktu
sampai betah waktu produktifnya tersita untuk menyelesaikan game online
sampai berjilid-jilid. Pengawasan orang tua bisa dilakukan pada penggunaan
komputer atau laptop di rumah. Beda cerita kalau anak dengan gadget-nya
bisa bebas berselancar bareng game online di mana saja. Anak bersepeda,
bergerombol duduk bareng adu pintar otak-atik game online. Anak sekolah
yang bisa mengelola waktu, sesuai isi kantong, memanfaatkam warnet untuk
menyakurkan bakatnya sebagai pemain. Kurang apa lagi dunia ini. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar