Segera Hubungi Pintu Tobat Terdekat
Wajar jika kita bangun pagi sesuai proses alami mekanisme tubuh, sebagai
batas akhir tidur malam. Tak kurang kita lebih pilih memperpanjang lelap, lebih
suka meneruskan mimpi, begitu lihat jam masih menunjukkan malam hari, walau sudah
jelang pagi. Bisikan hati berdalih energi belum pulih seratus persen. Leher
masih pegal, penat masih menghimpit. Mata belum mau diajak kompromi.
Motivasi bisa bangun pagi karena ada keperluan yang harus dilakukan
pagi itu. Ada janji untuk bersua. Ada yang segera harus kita kerjakan. Atau
terpaksa bangun karena harus ke kamar kecil. Untuk kegiatan yang rutin harian,
misal untuk berangkat kerja, mengandalkan jam karet sudah terbiasa. Lalu lintas
macet menjadi alasan klasik, rutin dan legal.
Pertanyaan mendasar, apa yang kita
lakukan, kita ingat, secara spontan begitu bangun pagi. Entah fajar sudah
berkibar. Entah dingin malam masih menggigilkan badan. Membaca doa bangun
tidur. Bersyukur masih bisa bangun. Atau ber-istighfar. Memang banyak pilihan.
Apa yang kita pilih sebagai kebiasaan diri. Ada baiknya kita simak sebagaimana terjemahan [QS Al Furqaan (25) : 70] : “kecuali
orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Terjawab, bahwasanya begitu bangun pagi kita “wajib” segera bertobat.
Kendati tidur malam, kita memang bebas dari hukum Allah. Kejahatan malam atau
sisa kejahatan atau dosa tercatat malaikat hari itu yang masih kita bawa ke
tempat tidur, kita sadari atau kita anggap biasa, masih akan menjadi bahan
pertimbangan di pengadilan Allah.
Kita terbangun pagi hari diikuti bangkitnya iman, melanjutkan kadar
iman kita. Dengan modal kadar iman, kita siap berjibaku untuk hari ini. Kita
seolah terprogram siap melakukan tindakan dan kesalahan yang sama, sampai
bangun pagi berikutnya. Kita siap ‘mengerjakan amal saleh’, sebagai hal
rutin, diniatkan maupun ditingkatkan.
Memaknai ‘kejahatan
mereka diganti Allah dengan kebajikan’ bukan berarti kita bebas melakukkan
apa saja, bebas bertindak apa saja. Bebas memilih jalan hidup yang akan kita
tempuh, yang akan kita lakoni hari ini. Jangan mengartikan bahwa Allah akan
memproses kejahatan harian kita dan dengan diganti menjadi kebajikan.
Jangankan tindakan, terlebih
menghalakan tindakan bebas bertindak, bahkan untuk urusan niat pun saat kita seolah
menghadapi pilihan dilematis, memilih urusan dunia atau urusan akhirat, Allah
memberikan pembalasan kepada amal seseorang menurut dan berdasarkan niatnya.
Yaitu dalam terjemahan
Al-Qur’an [QS Asy Syuura (42) : 20] : “Barangsiapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya
dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di
akhirat.”
Pagi itu saya bersyukur terbangun pukul 04:06 WIB,
bukan tanpa sebab, bukan tanpa niat, bukan tanpa doa. Diakui, niat bangun pagi
dengan raih manfaat minimal yaitu masih bisa sholat subuh di awal waktu. Terkhusus
bisa berjamaah subuh di masjid. Ini namanya niat minimalis, bukan tanpa kesungguhan.
Melihat kondisi diri jelang tidur malam. Memangnya tidak niat bisa menegakkan
sholat malam yang bersambung dengan sholat subuh. Wallahu a’lam bish showab.
Suara dari pengeras suara bebebapa masjid sekitar tempat tinggal, sudah
mengusik telinga. Memacu diri untuk bersegera bangun. Mau sholat malam,
keheningan malam sudah tercabik. Hakikat waktu sholat malam sudah mendekati
ambang bawah. Kita tidak boleh tergesa sholat malam di sisa waktu, mempengaruhi
kekhusyukkan. Ambil keputusan untuk melangkahkan kaki ke masjid langganan. Masjid
sebagai pintu tobat terdekat, dalam pengertian kemanfaatan berjamaah. Tobat
individu bisa dilakukan kapan saja, terkhusus setelah dirasa telah mencetak
dosa sekecil apapun. Bisa dilakukan pasca kegiatan, agar amalan tak tertolak.
[Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar