“Allah belum memproses jodohku . .
. “
Jika kunaik bis kota, kuusahakan
duduk di kursi depan, dekat sopir. Agar lutut bebas bergerak. Walau kaki
nyaman, namun tak bebas dari jangkauan tangan pengamen, dengan topi dekilnya
atau bungkus kantong permen, menarik pajak jasa tarik suara. Sambil terkantuk,
keterpa panas matahari, bis ngetem, terkadang tak sengaja telinga menampung
oborolan penumpang.
Meliwati kampus di bilangan
Jakarta Selatan, naik dua mahasiswi berjilbab, duduk di kursi belakang saya.
Sambil berbisik, ketawa-ketiwi, mereka membicarakan soal lawan jenis. Jari
tangan mereka sibuk dengan hp. Celotehan ringan namun menyengat telinga saya,
terlebih ketika terdengar senandung cinta salah satu dari mereka. Celetukan
tersebut menjadi judul artikel ini. Serta merta sepanjang jalan mengilhami
saya. Memacu memori pribadi dan sekaligus evaluasi diri.
Jodoh di tangan Allah, seolah
menjadi vonis bagi umat manusia, khususnya remaja yang telah memasuki batasan
usia layak nikah. Atau bagi anak manusia yang telah memenuhi syarat nikah. Menjadi
momok. Muncul isitilah ‘terlambat nikah’, ‘belum ketemu jodohnya’. Paling
menyakitkan ada sebutan ‘perawan tua’ atau ‘joko tuwo’.
Selama ini kita cerna dengan iman
bahwa kelahiran, perjalanan hidup, rezeki, jodoh, kematian sebagai hak
prerogratif Allah, sebagai takdir manusia, sebagai ketetapan-Nya. Jika kita kaji lagi, sangat
dimungkinkan bahwa jodoh
merupakan sebuah pilihan, bukan ketetapan dari Allah. Tidak ada satupun
nash-nash di dalam Al Qur’an maupun di dalam hadist/sunnah Rasul yang
mengindikasikan bahwa jodoh adalah sebuah takdir/ketetapan dari Allah.
Ada baiknya kita simak sebagaimana terjemahan [QS Faathir (35) : 11] : “Dan
Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia
menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang
perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur
panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam
Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah..”
Mengacu kata/kalimat kunci ‘kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan
perempuan)’ harus kita cerna dan maknai hakikatnya. Bukan sekedar masalah
waktu, tetapi juga tergantung perjuangan cinta seseorang untuk mencari pasangan
hidup. Perjuangan cinta tidak monopoli kaum adam. Kaum hawa tidak sekedar
sebagai bunga menunggu kumbang datang. Tidak sekedar duduk manis di rumah,
sibuk di dapur, menunggu pinangan.
Pengalaman
hidup mengatakan, menyatakan atau bahkan membuktikan bahwa jika seseorang sudah
layak nikah, secara biologis maupun secara yuridis, namun belum bertindak,
dapat diartikan ybs belum percaya diri. Masih ada sederet rasa takut yang
menjadi dasar pertimbangan.
Kejadian
di pihak lain, dari sisi berbeda, jika ada pasangan suami isteri, sudah sekian
tahun mendambakan keturunan, namu tak kunjung terwujud, bisa diartikan pasutri
tsb belum dipercaya oleh Allah. Karena anak adalah amanah, keturunan sebagai
titipan Allah.
Menyikapi
ikhwal ‘sulit jodoh’ dan/atau ‘sulit anak’, manusia malah terjebak dengan
hal-hal yang bertolak belakang, yaitu ‘terpaksa kawain’ dan/atau ‘anak haram’.
Kesemuanya ini tidak ada dalam ajaran Islam.
Falsafah
Jawa mentuturkan bahwa ‘bojo durung karuan jodo’, arti bebasnya
suami/isteri seseorang belum tentu jodohnya. Bukan karena lantas ada perceraian
dengan berbagai dalih dan alasan. Bukan karena tidak bisa mempunyai keturunan.
Atau juga bukan karena tidak bisa memperbaiki nasib. Misal malah melanjutkan
tradisi ‘hidup sederhana’ yang oleh pemerintah masuk keluarga miskin. Kurang
berhasil dalam membentuk keluarga islami.
Akankah
kita melupakan firman Allah, yang menjadi populer karena redaksi terjemahanya menjadi
bagian dari undangan pernikahan, dicupilk dari [QS Ar Ruum (30) : 21] : “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari
jenismu sendiri, supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih
sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang
demikian menjadi tanda-tanda
kebesaran-Nya bagi orang-orang yang
berfikir.”
Jadi,
menyikapi kebijakan jodoh di tangan Allah, kita jangan berfikir yang
tidak-tidak. Harus berbaik sangka dan banyak harapan kepada-Nya. In sya Allah,
Allah akan memproses cinta, jodoh seseorang. Tergantung niat dan laku diri
sendiri. Serta menjadi salah satu kewajiban orang tua untuk mencarikan jodoh
untuk anaknya. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar