walau nila sebelanga, revolusi
mental jalan terus
Banyak
peribahasa berkeliaran dikehidupan siang malam. Tak lekang oleh waktu, bahkan
bisa menyesuaikan diri dengan peradaban. Mampu berakselerasi dengan kebutuhan
dan kenyataan hidup umat manusia. Menjadi pengingat dini yang sering kita
abaikan begitu saja.
Kita
tidak tahu apakah perbendaharaan peribahasa semakin bertambah atau sebaliknya.
Otak kita lebih suka dengan apa kata hati yang sudah mulai suka main tipu. Otak
dan hati sudah tidak sinkron. Hati melarang, tetapi karena ada keuntungan
duniawi yang tak terhitung, otak tinggal memperkuat langkah kita. Akhirnya kita
terbiasa buang air besar sembarang tempat. Sesuka hati kita. Tanpa tunggu
sinyal tuntutan dan kebutuhan dalam.
Peribahasa
“karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Teman dari Bali berseloroh, susu
sebelanga, seberapa ukuran bra-nya. Sebelanga, sesuai motivasi artikel ini
adalah penyelenggara negara dari unsur kawanan parpolis peserta pesta demokrasi
lima tahunan.
Zaman
sekarang, semakin majunya peradaban manusia Indonesia yang ditandai dengan
lajunya peradaban politik. Betapa tingkah laku, perilaku para pelaku, pemain
politik di panggung, industri, syahwat politik begitu bergelora, berapi-api
tanpa kompromi. Pihak manapun jadi penghambat, sikat. Kawan yang tak sepakat,
lumat sebelum khianat. Tersedia dua menu pilihan mempraktikkan ideologi : hujat
atau jilat.
Akal,
logika, nafsu politik anak bangsa teruji dan terbukti dalam bingkai, format :
yang pernah menikmati jadi presiden, wakil presiden (apalagi dapat jatah satu
periode), pembantu presiden masih ingin tampil lagi. Watak ini semakin
menjadikan peluang anak bangsa yang duduk didaftar tunggu, semakin tidak
berpeluang. Semula duduk manis di bangku cadangan, bisa terlempar bebas di
kompetisi berikutnya.
Apapun
kelakuan anak didik partai sebagai penyelenggara negara, sampai tingkat
kabupaten/kota, akibat dan buah dari kebijakan partai, tidak bisa serta merta
dipersalahkan. Hukum politik di atas segala hukum buatan manusia. Perilaku
politik memang tidak bisa disorot pakai kaca mata moral, kurang layak ditakar
dengan norma wong timur, kurang patut dikaitkan dengan pasal adab sebagai
manusia religius. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar