Halaman

Kamis, 07 April 2016

walau nila sebelanga, revolusi mental jalan terus

walau nila sebelanga, revolusi mental jalan terus

Banyak peribahasa berkeliaran dikehidupan siang malam. Tak lekang oleh waktu, bahkan bisa menyesuaikan diri dengan peradaban. Mampu berakselerasi dengan kebutuhan dan kenyataan hidup umat manusia. Menjadi pengingat dini yang sering kita abaikan begitu saja.

Kita tidak tahu apakah perbendaharaan peribahasa semakin bertambah atau sebaliknya. Otak kita lebih suka dengan apa kata hati yang sudah mulai suka main tipu. Otak dan hati sudah tidak sinkron. Hati melarang, tetapi karena ada keuntungan duniawi yang tak terhitung, otak tinggal memperkuat langkah kita. Akhirnya kita terbiasa buang air besar sembarang tempat. Sesuka hati kita. Tanpa tunggu sinyal tuntutan dan kebutuhan dalam.

Peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Teman dari Bali berseloroh, susu sebelanga, seberapa ukuran bra-nya. Sebelanga, sesuai motivasi artikel ini adalah penyelenggara negara dari unsur kawanan parpolis peserta pesta demokrasi lima tahunan.

Zaman sekarang, semakin majunya peradaban manusia Indonesia yang ditandai dengan lajunya peradaban politik. Betapa tingkah laku, perilaku para pelaku, pemain politik di panggung, industri, syahwat politik begitu bergelora, berapi-api tanpa kompromi. Pihak manapun jadi penghambat, sikat. Kawan yang tak sepakat, lumat sebelum khianat. Tersedia dua menu pilihan mempraktikkan ideologi : hujat atau jilat.

Akal, logika, nafsu politik anak bangsa teruji dan terbukti dalam bingkai, format : yang pernah menikmati jadi presiden, wakil presiden (apalagi dapat jatah satu periode), pembantu presiden masih ingin tampil lagi. Watak ini semakin menjadikan peluang anak bangsa yang duduk didaftar tunggu, semakin tidak berpeluang. Semula duduk manis di bangku cadangan, bisa terlempar bebas di kompetisi berikutnya.

Apapun kelakuan anak didik partai sebagai penyelenggara negara, sampai tingkat kabupaten/kota, akibat dan buah dari kebijakan partai, tidak bisa serta merta dipersalahkan. Hukum politik di atas segala hukum buatan manusia. Perilaku politik memang tidak bisa disorot pakai kaca mata moral, kurang layak ditakar dengan norma wong timur, kurang patut dikaitkan dengan pasal adab sebagai manusia religius. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar