siapa yang mendominasi Nusantara, akal politik vs akal ekonomi
Kita tidak tahu apakah teknokrat atau cendekiawan yang
berkiprah di pemerintahan, berlatar belakang disipilin ilmu tertentu saja. Kita
tidak tahu seberapa persamaan/perbedaan antar presiden dalam merekrut ‘orang
pintar’ masuk kabinetnya. Atau adakah perbedaan antara presiden dari militer
dengan presiden dari sipil, dalam menempatkan orang pintar di tempat yang membutuhkan
orang pintar saja atau orang yang pintar-pintar.
Tiap presiden menghadapi tantangan dan menanggung beban yang
tidak sama. Adakah presiden yang tersandera akibat tingkah laku politik atau
ulah partai politik. Sukarno yang ditelikung dua kali oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI), Madiun Affair 1948 dan G30S PKI, sebagai dampak tidak ada
partai yang dianakemaskan atau dianaktirikan.
Antar presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, apakah ada
persamaan / perbedaan yang mendasar dan prinsip. Apakah antara pihak yang
menjilat dengan pihak yang menghujat berani tampil terang-benderang, melalui
media masa, media sosial, media online atau pemanfaatan tekonologi informasi
dan komunikasi.
Praktik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dalam
kehidupan sehari-hari, mungkin bisa bebas dari hiruk-pikuk percaturan politik
Nusantara. Rakyat tidak faham apa itu revolusi mental, apakah bisa menjadikan
hidup lebih sejahtera. Rakyat tidak mau tahu, apakah orang politik atau orang
pintar yang masuk jajaran pembantu presiden.
Cuma saja, mengikuti kasus reklamasi teluk Jakarta,
seolah-olah hukum tak berlaku. Penguasa tunggal DKI Jakarta betul-betul jadi
penentu nasib Jakarta. Tak patut disangkal, akal ekonomi, akal pelaku ekonomi
bagian dari konstruksi bangunan ekonomi negara pengatur dunia, akal pengusaha
yang mampu menaksir nilai jual penguasa setempat, atau sebagai alat otak
ekonomi. Bayangkan kalau lokasi tempat kejadian perkara jauh dari mata
presiden. Jauh dari endusan media massa. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar