ketika
nyawa rakyat diteror dengan sentuhan popor
Kasus Siyono menambah kategori pengabdian kepada negara
tanpa pandang bulu oleh aparat Polri. Sekaligus menambah batasan harga nyawa
manusia yang bisa dinilai dengan Rupiah. Banyak pihak yang merasa berkepentingan
dengan kasus ini. Pihak Polri, BNPT sudah siap dengan berbagai argumentasi, berlapis
skenario, segudang dalih untuk menyegerakan, menyederhanakan, menuntaskan kasus
Siyono. Apakah masih ada siyono-siyono lain yang lebih besar, hanya perjalanan
waktu dan sejarah yang bisa membuktikannya.
Kita yakin banyak kejadian perkara yang masuk kategori ‘perbuatan
tidak menyenangkan terhadap negara’, akan mendapat perlakuan yang berbeda.
Seperti tarif pengacara tergantung siapa yang punya kasus yang meminta jasanya,
dan yang paling utama adalah jika menyangkut kasus merugikan negara. Artinya
menyangkut besaran Rp yang perlu dibela mati-matian akan menentukan argo
pengacara.
Jika kasusnya ecek-ecek, yang tanggap mungkin pengacara
pemula atau pengacara ecek-ecek. Jika kasus terduga teroris masuk klas
ecek-ecek, tidak layak diperkarakan, tidak membawa efek pada prestasi Polri,
petugas yang dikirim cukup seadanya. Pasal yang diterapkan adalah ‘matikan di
tempat’. Polri dengan Densus 88 Anti Teror memang perlu hemat bensin, hemat
biaya, hemat waktu, hemat tenaga, hemat perkara tapi harus ada bukti tertulis
berapa banyak kasus yang ditangani. Menciptakan teror dengan cara meneror
rakyat, sudah lazim di era 2014-2019. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar