dikotomi
kampung besar Jakarta, kota sumber waras vs kota lali jiwo
Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia, memang sangat serba menjanjikan.
Tepat dibilang miniatur Indonesia. Miniatur, artinya, yang mini, sebagai tirani
minoritas, asal berani dan penyembah berhala Reformasi 3K (Kaya, Kuasa, kuat) bisa
mengatur lalu lintas kehidupan Jakarta. Yang mayoritas menjadi penonton.
Menjadi budak di rumah sendiri. Siap tukar ganti budaya, jati diri, citra diri
agar tetap eksis.
Tidak perlu promosi, tanpa basa-basi. Kota penyedia berbagai nikmat
duniawi. Kota tujuan wisata orang buang duwit, apa saja bisa dibeli. Jangankan
sepetak tanah, seluas pulau kecil bisa dipesan. Teknologi reklamasi berbagai
bentuk, tinggal pilih. Menambah luas daratan, membuat daratan baru dekat
pantai, memperluas pulau kecil, tinggal wani piro!
Pendatang, mulai masyarakat papan bawah, akar rumput, wong cilik, tidak
perlu modal. Jakarta tersedia sumber daya modal. Ketika Joko Widodo menorehkan
sejarah betapa jabatan amanah Gubernur DKI Jakarta bisa sebagai batu loncatan
ke kepala negara, serta-merta mendongkrak pamor Jakarta. Pola ‘tinggal
gelanggang, colong playu’ yang dipraktikkan Jokowi, serta-merta mendapat
amnesti politik begitu argo sebagai petugas partai berjalan. Revolusi mental
menjadikan ‘turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo’ menjadi model sukses
politik.
Jakarta secara dinamis menjadi kota serba multi. Menjadi pabrik, pencetak
manusia unggul, tempat orang adu otot sampai adu otak. Kepentingan asing belum
merasa yakin jika tidak mengirim orangnya, blusukan di setiap gang, lorong
Jakarta. Kehidupan malam disatroni, diakrabi sambil menyebar alternatif
prospektus nikmat duniawi. Generasi muda disulap dengan cepat menjadi generasi
siap jadi apa saja, siap kemana saja, siap membawakan peran apa saja.
Jakarta kota 24 jam, kota siang malam, kota tak pernah tidur. Siapa saja
bisa jadi tuan. Yang halal dan yang haram berjalan beiringan, tidak saling
serobot. Bahkan dalam waku yang sama, manusia Jakarta, tepatnya yang uber Rp di
Jakarta, sulit membedakan mana yang halal dengan mana yang haram. Kegiatan
usaha atau duniawi dibalut, dibingkai, dikemas secara formal, legal, sesuai
pasal hukum buatan manusia, bermartabat, beretika, apalagi dilakukan secara
rutin. Aroma irama kehidupan berbasis halal maupun berbasis haram, seolah
menjadi trade mark Jakarta.
Jangan-jangan pendatang di Jakarta, datang dengan kondisi sehat jiwa raga,
bugar lahir batin, waras jasmani rohani, setelah berproses sekian lama, sesudah
kontrak politik usai, pasca batas usia/umur kerja dilampaui, menuntaskan
banting tulang peras keringat, bubar melakoni kepala jadi kaki – kaki jadi kepala,
sehabis habis-habisan upaya kanan-kiri mentok, balik kandang, pulang kampung,
malah menyandang lali jiwo. Minimal, Kartu Jakarta Waras, di kampung
halaman tidak berlaku. Diganti dengan Kartu Lali Jiwo. Opo tumon.
Mungkin, selama masih betah dan bertahan di Jakarta, malah mendadak lupa,
bentuk sederhana dari lali jiwo. Mendadak alim, merasa dizalimi oleh
lawan politiknya. Jual tangis dan ocehan pengharu-rasa. Di jenis lain, mendadak
merasa prihatin dengan nasih bangsa, berorasi penghiba-hiba menawarkan jamu restorasi
politik. Siap meluruskan jalannya revolusi mental asal punya kuasa setaraf
kepala negara. Siap revolusi mental menjadi senjata makan tuan, berbalik arah
tak terkendali.
Jangankan jabatan gubernur Jakarta yang nilai jual pakai taksiran dolar, ditentukan
valuta asing, untuk memilki E-KTP Jakarta sebagai bukti warga negara Jakarta,
harus mengikuti seleksi atau uji kelayakan dan kepatutan. Jalan pintas, ikut
ujian alam, ikuti arah angin. Siapa bisa jadi apa. Siapa menggusur siapa. Siapa
melawan siapa. Besok siapa yang akan disantap. Semakin tidak jelas. Entah hukum
apa yang berlaku. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar