Halaman

Kamis, 21 April 2016

dikotomi kampung besar Jakarta, kota sumber waras vs kota lali jiwo

dikotomi kampung besar Jakarta, kota sumber waras vs kota lali jiwo

Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia, memang sangat serba menjanjikan. Tepat dibilang miniatur Indonesia. Miniatur, artinya, yang mini, sebagai tirani minoritas, asal berani dan penyembah berhala Reformasi 3K (Kaya, Kuasa, kuat) bisa mengatur lalu lintas kehidupan Jakarta. Yang mayoritas menjadi penonton. Menjadi budak di rumah sendiri. Siap tukar ganti budaya, jati diri, citra diri agar tetap eksis.

Tidak perlu promosi, tanpa basa-basi. Kota penyedia berbagai nikmat duniawi. Kota tujuan wisata orang buang duwit, apa saja bisa dibeli. Jangankan sepetak tanah, seluas pulau kecil bisa dipesan. Teknologi reklamasi berbagai bentuk, tinggal pilih. Menambah luas daratan, membuat daratan baru dekat pantai, memperluas pulau kecil, tinggal wani piro!

Pendatang, mulai masyarakat papan bawah, akar rumput, wong cilik, tidak perlu modal. Jakarta tersedia sumber daya modal. Ketika Joko Widodo menorehkan sejarah betapa jabatan amanah Gubernur DKI Jakarta bisa sebagai batu loncatan ke kepala negara, serta-merta mendongkrak pamor Jakarta. Pola ‘tinggal gelanggang, colong playu’ yang dipraktikkan Jokowi, serta-merta mendapat amnesti politik begitu argo sebagai petugas partai berjalan. Revolusi mental menjadikan ‘turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo’ menjadi model sukses politik.

Jakarta secara dinamis menjadi kota serba multi. Menjadi pabrik, pencetak manusia unggul, tempat orang adu otot sampai adu otak. Kepentingan asing belum merasa yakin jika tidak mengirim orangnya, blusukan di setiap gang, lorong Jakarta. Kehidupan malam disatroni, diakrabi sambil menyebar alternatif prospektus nikmat duniawi. Generasi muda disulap dengan cepat menjadi generasi siap jadi apa saja, siap kemana saja, siap membawakan peran apa saja.

Jakarta kota 24 jam, kota siang malam, kota tak pernah tidur. Siapa saja bisa jadi tuan. Yang halal dan yang haram berjalan beiringan, tidak saling serobot. Bahkan dalam waku yang sama, manusia Jakarta, tepatnya yang uber Rp di Jakarta, sulit membedakan mana yang halal dengan mana yang haram. Kegiatan usaha atau duniawi dibalut, dibingkai, dikemas secara formal, legal, sesuai pasal hukum buatan manusia, bermartabat, beretika, apalagi dilakukan secara rutin. Aroma irama kehidupan berbasis halal maupun berbasis haram, seolah menjadi trade mark Jakarta.

Jangan-jangan pendatang di Jakarta, datang dengan kondisi sehat jiwa raga, bugar lahir batin, waras jasmani rohani, setelah berproses sekian lama, sesudah kontrak politik usai, pasca batas usia/umur kerja dilampaui, menuntaskan banting tulang peras keringat, bubar melakoni kepala jadi kaki – kaki jadi kepala, sehabis habis-habisan upaya kanan-kiri mentok, balik kandang, pulang kampung, malah menyandang lali jiwo. Minimal, Kartu Jakarta Waras, di kampung halaman tidak berlaku. Diganti dengan Kartu Lali Jiwo. Opo tumon.

Mungkin, selama masih betah dan bertahan di Jakarta, malah mendadak lupa, bentuk sederhana dari lali jiwo. Mendadak alim, merasa dizalimi oleh lawan politiknya. Jual tangis dan ocehan pengharu-rasa. Di jenis lain, mendadak merasa prihatin dengan nasih bangsa, berorasi penghiba-hiba menawarkan jamu restorasi politik. Siap meluruskan jalannya revolusi mental asal punya kuasa setaraf kepala negara. Siap revolusi mental menjadi senjata makan tuan, berbalik arah tak terkendali.

Jangankan jabatan gubernur Jakarta yang nilai jual pakai taksiran dolar, ditentukan valuta asing, untuk memilki E-KTP Jakarta sebagai bukti warga negara Jakarta, harus mengikuti seleksi atau uji kelayakan dan kepatutan. Jalan pintas, ikut ujian alam, ikuti arah angin. Siapa bisa jadi apa. Siapa menggusur siapa. Siapa melawan siapa. Besok siapa yang akan disantap. Semakin tidak jelas. Entah hukum apa yang berlaku. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar