Halaman

Kamis, 14 April 2016

ketika perilaku politik menjajah demokrasi rakyat

ketika perilaku politik menjajah demokrasi rakyat

Kehidupan sehari-hari di tempat tinggal kami, berjalan normal, familiar, bak air mengalir. Jam kerja, banyak pensiunan yang pilih sibuk di dalam rumah, paling banter di halaman rumah. Sebagian besar penghuni sudah memasuki generasi kedua, generasi anak cucu. Keakraban generasi pertama, karena pertambahan usia, berlanjut ke berbagai acara. Kegiatan rutin, menjadi jamaah masjid, duduk manis dengar ceramah ustadz. Kegiatan rutin bulanan, ambil pensiun, pulang belanja. Kegiatan insidentil, ada acara dari bekas tempat kerja, silaturahmi bulanan, arisan, pembinaan rohani. Olah raga murah meriah, jalan kaki masih ada yang melaksanakannya.

Hiruk-pikuk jalan lingkungan, diisi deru mesin motor dan knalpot. Geliat PSK (pedagang sayur keliling) yang siap dikerubungi ibu rumah tangga. Langkah  pemulung, abang siomay, tukang bakso, ketoprak, tukang sol sepatu, pedagang barang bekas, pelajar dan segala macam jenis manusia lewat. Diselingi suara gerobag juragan air bersih langganan warga. Jelang senja terasa ada tanda kehidupan. Ibu rumah tangga muncul asuh cucu, sambil tunggu orangtuanya pulang kerja. Terjadi musyawarah jalanan, antar nenek, antar kaum hawa.

Bukan berarti tidak terjadi silang-sengketa antar warga, beda pendapat antar tetangga. Semangat sebagai warga pendatang, menjadikan sebagai daya pembangkit persatuan dan kesatuan. Menjaga kerukunan sesuai asas RT/RW. Individu yang ingin menonjol, wajar. Pensiunan yang menceritakan masa jayanya, masa lalunya tanpa diminta, sah-sah saja. Anak-anak bercelana pendek dengan gagahnya berseliweran naik motor, berbonceng tiga, hasil didik orang tuanya.

Kehidupan bermasyarakat di lingkungan tempat tinggal yang sangat heterogen, diwarnai dengan berbagai gesekan ringan sampai bisa beradu otot. Politik jalanan berkembang alami, yang menjadi cikal bakal politik negara. Masyarakat lebih mengandalkan mata dan telinga untuk mendapat berita kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya baca dan tulis, seolah menjadi hak anak didik. Jika ada diskusi warga bertema perilaku politik terkini, sekedar bicara ngalor-ngidul. Merasa, barang yang tak pantas dibicarakan, jangan dibawa ke forum rakyat.

Penduduk memang masuk kategori buta politik, tetapi tidak buta hati terhadap kenyataan hidup. Sadar hukum, sadar politik serta sadar lainnya sudah menjadi menu hidup sehari-hari. Rakyat tidak perlu revolusi mental. Mental rakyat jauh dari rasa ingin korupsi, khianat, cidera dan ingkar janji, menjegal kawan bermain, atau semua yang menjadi lagu wajib dengan dalih melaksanakan kebijakan partai, tidak akan dilakukan oleh rakyat. Rakyat dengan pendidikan politik pas-pasan, tetap semangat mengisi kehidupannya, tanpa perlu memikirkan balas jasa politik, balas budi politik sebagai pemilih. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar