ketika
perilaku politik menjajah demokrasi rakyat
Kehidupan sehari-hari di tempat tinggal kami, berjalan
normal, familiar, bak air mengalir. Jam kerja, banyak pensiunan yang pilih
sibuk di dalam rumah, paling banter di halaman rumah. Sebagian besar penghuni
sudah memasuki generasi kedua, generasi anak cucu. Keakraban generasi pertama,
karena pertambahan usia, berlanjut ke berbagai acara. Kegiatan rutin, menjadi
jamaah masjid, duduk manis dengar ceramah ustadz. Kegiatan rutin bulanan, ambil
pensiun, pulang belanja. Kegiatan insidentil, ada acara dari bekas tempat kerja,
silaturahmi bulanan, arisan, pembinaan rohani. Olah raga murah meriah, jalan
kaki masih ada yang melaksanakannya.
Hiruk-pikuk jalan lingkungan, diisi deru mesin motor dan
knalpot. Geliat PSK (pedagang sayur keliling) yang siap dikerubungi ibu rumah
tangga. Langkah pemulung, abang siomay,
tukang bakso, ketoprak, tukang sol sepatu, pedagang barang bekas, pelajar dan
segala macam jenis manusia lewat. Diselingi suara gerobag juragan air bersih
langganan warga. Jelang senja terasa ada tanda kehidupan. Ibu rumah tangga
muncul asuh cucu, sambil tunggu orangtuanya pulang kerja. Terjadi musyawarah
jalanan, antar nenek, antar kaum hawa.
Bukan berarti tidak terjadi silang-sengketa antar warga, beda
pendapat antar tetangga. Semangat sebagai warga pendatang, menjadikan sebagai
daya pembangkit persatuan dan kesatuan. Menjaga kerukunan sesuai asas RT/RW. Individu
yang ingin menonjol, wajar. Pensiunan yang menceritakan masa jayanya, masa
lalunya tanpa diminta, sah-sah saja. Anak-anak bercelana pendek dengan gagahnya
berseliweran naik motor, berbonceng tiga, hasil didik orang tuanya.
Kehidupan bermasyarakat di lingkungan tempat tinggal yang
sangat heterogen, diwarnai dengan berbagai gesekan ringan sampai bisa beradu
otot. Politik jalanan berkembang alami, yang menjadi cikal bakal politik
negara. Masyarakat lebih mengandalkan mata dan telinga untuk mendapat berita
kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya baca dan tulis, seolah menjadi hak
anak didik. Jika ada diskusi warga bertema perilaku politik terkini, sekedar
bicara ngalor-ngidul. Merasa, barang yang tak pantas dibicarakan, jangan
dibawa ke forum rakyat.
Penduduk memang masuk kategori buta politik, tetapi tidak
buta hati terhadap kenyataan hidup. Sadar hukum, sadar politik serta sadar lainnya
sudah menjadi menu hidup sehari-hari. Rakyat tidak perlu revolusi mental.
Mental rakyat jauh dari rasa ingin korupsi, khianat, cidera dan ingkar janji,
menjegal kawan bermain, atau semua yang menjadi lagu wajib dengan dalih
melaksanakan kebijakan partai, tidak akan dilakukan oleh rakyat. Rakyat dengan
pendidikan politik pas-pasan, tetap semangat mengisi kehidupannya, tanpa perlu
memikirkan balas jasa politik, balas budi politik sebagai pemilih. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar