penyakit bangsa akibat
akal politik kedaluwarsa
Wong Cilik memang tidak
tersurat dalam UUD NRI 1945. Terkait bentuk nasibnya, didekati dengan bahasa
politik. Perjalanan bangsa pasca Reformasi 21 Mei 1998, semakin membuktikan bahwa
pemanfaatan makna ‘wong cilik’ menjadi lawan kata dari makna ‘revolusi mental’.
Formula ‘revolusi mental’ khusus buat penyelenggara negara dari petugas partai.
Kalau diterapkan di ‘wong cilik’ malah akan digeguyu pitik.
Mosok ‘wong cilik’
dianjurkan hidup sederhana, disarankan hidup prihatin, diajari berfikir apa
adanya. Tidak boleh korupsi, jangan main
manupulasi, dilarang menghidupkan ambisi menjadi penguasa. Jokowi yang dianggap
titisan bung Karno, oleh pihak tertentu, paham betul. Makanya Jokowi sering
terkekeh, geleng-geleng kepala melihat tingkah laku, perilaku anak bangsa yang
gemar main politik.
Anomali suhu politik dalam
negeri, dampak dari tidak ada kawan maupun lawan dalam politik. Kepentingan bukan
jaminan terjadi mufakat, membentuk koalisi apalagi demi kepentingan nusa dan
bangsa. Memasuki atau berada di garis depan, seolaj memasuki kuadran “dia
tidak tahu bahwa dia tidak tahu”.
Rekam jejak sebagai pegiat
politik, sejak dalam kandungan, atau sudah direkayasa sejak dini, malah tidak
memunculkan daya pikir logis tentang arti sesungguhnya politik. Jati diri,
identitas politik perseorangan tergantung pasokab, asupan dan suplai ideologi.
Aspek ideologi apa saja yang bangkit dari hati nuraninya.
Agaknya, anak bangsa sudah
terkontaminasi ideologi kekuasaan, seperti yang dipertontonkan lewat media
massa. Tidak pilih dan pandang gender utawa jenis kelamin. Semua sami mawon.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar