ketika pensiunan termakan laku tinggi hatinya
Acap kita
menghadapi kenyataan hidup di luar dugaan. Membayangkan saja, angan-angan kita
tak mampu berbuat banyak. Acuan dari bacaan atau melihat pengalaman orang lain,
daya ingat tak mampu menyimpan memori begitu lengkap. Rangkai peristiwa dan kejadian
berulang di depan mata tak mirip atau malah muncul varian baru. Kata orang
bijak, itulah hidup.
Maksud hati menduga
sesuatu, demi penghormatan, tapi kenyataan berkata sebaliknya. Kenyataan hidup
sering kita ombang-ambingkan, kita tawar, seolah kita penentunya. Ternyata,
manusia tidak bisa tebak, sesuai seperti apa yang kita lihat. Manusia ada yang
memakai ‘ilmu teko’, yaitu apa yang keluar, apa yang diucapkan sesuai isi teko.
Walau manusia bermanfaat dinilai dari apa yang dikerjakannya, bukan hanya yang
diucapkannya saja.
Jika manusia
bersuara, berucap, sesuai isi tekonya, tiap hari tidak ada perubahan. Dari side
A pindah ke side B, balik ke side A. Apa ada yang salah? Daya tampung teko yang
terbatas, atau hanya bisa menerima asupan tertentu saja. Seumur-umur tidak ada
dinamika kehidupan atau perubahan diri.
Pagi itu saya
kedatangan tetangga yang bertamu tentunya. Kakak klas waktu SMA, teman kuliah
satu fakultas beda jurusan dan teman sekantor satu menteri beda unit kerja.
Beliau sudah beberapa tahun pensiun, tiga tahun di atas saya. Mulai sekedar
basa-basi bertutur, tanpa titik koma, meningkat jadi teko tumpah. Beliau
merasa, pasca pensiun menjadi manusia bebas. Kalau saya dianggap hanya
mengerjakan perintah atasan. Sekarang beliau menjadi atasan atas dirinya
sendiri. Pikiran terbuka, ide meluap, katanya. Banyak peluang yang akan
dilakukannya. Ketika saya bantah bahwa grafik kehidupan pensiunan tidak mungkin
naik drastis dan sebaliknya, tidak mungkin anjlok dratis. Arti filosofisnya
adalah dahulu bagaimana, sekarang bagaimana.
Saya jadi ingat semboyan “Kemana ilmunya?” dan “Kemana amalnya?”. Sebuah
pertanyaan sederhana, tidak perlu dijawab secara emosi dan berlebihan. Cukup kita cerna
sebagai pemacu dan pemicu dalam berfikir dan bertindak. Untuk menjawab peran apa saja yang pernah kita lakukan,
sekaligus menjawab peran apa yang bisa kita bawakan selanjutnya. Khususnya untuk berada di tatanan bahwa
manusia hidup wajib berusaha.
Ketika saya merasakan pengalaman orang lain, yaitu bagaimana rasanya
pensiun. Prinsip tidak ada masalah. Sudah saya persiapkan sejak dini, mengacu
pengalaman orang tua. Khususnya ayah saya. Intinya sederhana, kerja ikhlas,
tanpa pamrih sekaligus harus mempunyai nilai jual. Ijazah sebagai syarat
administrasi. Semua penyandang gelar akademis, otomatis masuk karegori orang
pintar, profesional, siap kerja, siap
berkompetisi dan berkompetensi. Tetapi belum pintar-pintar. Tidak harus sok
gaul, sok pintar. Atraktif boleh saja, asal jangan norak.
Tahun terakhir kerja, saya siap ganti plat, dari plat merah ke plat
kuning maupun plat hitam. Bergabung dengan teman yang lebih senior, agar tetap
eksis. Begitu hari-H, tidak terjadi perubahan drastis dalam kehidupan harian. Tetap
bangun pagi sebelum fajat berkibar. Pulang subuhan, buka laptop, berkantor di
rumah. Nilai jual waktu masih aktif, tetap berlanjut bahkan lebih padat.
Singkat kata, dalam setahun ada saja kegiatan yang menyebabkan saya harus
berkunjung ke tempat kerja dulu. Bertemu teman lama, silaturahmi sambil
mempertanggungjawabkan pekerjaan.
Ganti periode pemerintah, ganti menteri. Ganti presiden, tempat kerja
lama dilebur jadi satu denga yang lain. Alhamdulillah, saya masih dipercaya
untuk membantu menyelesaikan pekerjaan internal.
Yang menjadi pemacu dan pemicu, atau tolok ukur bagaimana sepak terjang
saya di lingkungan tempat tinggal, ternyata menarik untuk dikisahkan.
Pertama, ada bapak-bapak yang sudah lama pensiun. Ceritanya, ingin duduk
yang manis. Menikmati sebagai MC (momong cucu). Mau dibayar berapapun oleh
temannya, tetap ditolak dengan diplomatis. Pernah jadi pejabat, sudah punya
bekal hidup. Tanpa diminta, langsung cerita pengalaman masa lampaunya. Uang
pensiun, bahkan suami isteri, untuk sebulan lebih dari cukup, katanya.
Kedua, ada yang merasa malu untuk mendatangi tempat kerja lama. Kendati
masih ada teman lama yang masih aktif. Kalau mau cari duwit, kerja di bidang lain,
katanya. Mereka pilih santai di rumah. Sudah tidak ternak (nganter anak) dan
teri (nganter isteri), tinggal lele (leyeh-leyeh). Hidup harus
dinikmati. Begadang pun dilakoni. Penyakit lama kambuh dan harus operasi pasang
ring.
Ketiga, ada yang sinis bertanya : “pensiunan kejar Rp untuk apa?” Saya
jawab :”Terbalik, justru Rp kejar pensiunan”. Penanya hanya bisa nyengir kuda
plus gelak ketawa kuda. Dia merasa, tenaga masih kuat, tapi ingin hidup santai.
Tak perlu uber Rp. Hidup sesuai perjalanan waktu, apapun yang akan terjadi,
terjadilah.
Keempat, karena ada yang membandingkan dengan keahlian dirinya, ada yang
bertanya : “Apa yang dikerjakan?”. Biar bahasanya nyambung, saya pakai bahasa
penanya : ”Sekedar membantu.” Ternyata jawaban saya memuaskan benaknya. Pertanyaan
semacam ini muncul dari siapa saja, bukan tetangga saja. Kenapa orang menakar
orang lain dengan kapasitas dirinya.
Kelima, tetapi bukan yang terakhir, ketika ada tetangga datang mencari,
pas saya tidak ada. Kesempatan berikutnya saat jumpa, mereka tanya : “Kemarin
saya cari, tidur ya!”. Kejadian ini sering saya temui. Bahkan ada yang ngomel :
“Siang-siang tidur!”. Bahkan pernah pas saya datang dari luar kota, masih rapih
karena naik pesawat, ada tetangga mampir nerocos : “Sampai diteriaki, tetap
tidak keluar. Kemana saja lu!”. Saya cuma bisa minta maaf. Terlebih jika ybs
jauh lebih berumur.
Jika saya bersyukur, karena berada di posisi saya, bukan di posisi dan sebagai
mereka, tentu tak etis. Sama-sama pemegang prinsip sebagai pensiunan, tidak
bisa merasa sebagai pihak yang benar. Hikmahnya, sebagai manusia jangan mendahului
ketetapan Allah. Esok hari belum tentu milik kita. Waktu tersisa di depan mata,
belum tentu bisa kita datangi. Ilmu mungkin tidak bertambah, amal jangan
berkurang. Allah sudah mengirim tanda.
Masih banyak lagi fragmen kehidupan sebagai pensiunan yang saya temui, sebagian
sudah saya tayangkan, dan in sya Allah, saya masih bisa memaparkannya pada
tempat yang sama dan waktu yang berbeda. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar