ketika mereka tak bergegas beranjak dari rumah Allah, usai subuh
Pagi itu, pengurus DKM di masjid tempat tinggal, menyediakan
minuman teh nasgicer (panas, legi dan encer) dan jamu rebus (jagung muda) untuk
jamaah. Malamnya tidak ada hujan ataupun gerimis. Usai sholat subuh, imam
lanjut memimpin doa bersama. Jamaah mengikuti atau ada yang baca doanya
sendiri. Sebagian jamaah ada yang langsung pulang.
Berpartisipasi ikut teguk teh, sambil sedikit ngobrol. Biji jagung
walau muda, masih untuh rapat, tidak
sanggup kulawan dengan gigiku yang sudah tidak lengkap dan utuh. Kulihat di
masjid, ternyata masih banyak jamaah, yang didominasi kaum ahli tunggu rumah,
masih tafakur. Walau doa bareng yang lebih lama dibanding sholat subuh, sudah
usai, mereka tetap asyik berdialog dengan Allah.
Fenomena tadi ternyata menarik perhatian jamaah yang sedang kunyah
jagung, diselingi hirup teh hangat. Ada yang baru tahu, termasuk saya, masih
ada jamaah yang demikian hangat berkomunikasi dengan penciptanya. Komentar
bapak-bapak, memang kehidupan harian dimulai dari pagi hari. Mereka tafakur
mencari jaminan, kepastian, kemantapan hati dari Alah, agar hari ini bisa
eksis.
Seharian tunggu dan jaga rumah, memang jauh dari tantangan hidup,
tapi tak bebas dari godaan hidup. Sibuk dengan cucu, tetap merasa hidup ini
seperti menunggu waktu. Punya aktivitas rutin sesusai kemampuan diri karena
usia, hanya sekedar mengisi waktu. Hobi baca koran, sampai iklan ditelusuri.
Lowongan kerja disimak. Acara TV tak mampu mengisi hati, bahkan memacu detak
jantung. Bisa mengumpat dalam hati. Berita politik malah menjadi hiburan, melihat
tampilan langsung pejabat sedang buka mulut.
Pembicaraan yang sedang kurekam dalam hati, mendadak terhenti, karena
ada yang mengajak bersalaman mau pulang. Tak lupa dia bawa sepotong jagung
rebus, untuk bekal di jalan katanya.
Sesampainya di rumah, seperti terbayang kejadian hari ini yang akan
kulakoni. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar