otonomi daerah versi reklamasi teluk Jakarta
Sejauh ini kita hanya
mencerna bahwa otonomi daerah adalah hak untuk mengurus dirinya sendiri, secara
mandiri, tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Semangat otonomi daerah
meningkat, memasuki fase semangat membentuk daerah otonom baru (DOB). Minimal
membentuk wilayah administrasi baru tingkat kabupaten/kota. Berbagai dalih,
alasan, kiat dipaparkan untuk memperkuat menambah DOB. Mulai luas wilayah, sebaran
dan jumlah penduduk serta sumber daya alam yang prospektus. Jujur saja,
semangat menambah wilayah administrasi lebih didominasi akal politik.
Semangat Reformasi, khazanah
perjuangan bangsa dan negara, ditambah atau bahkan dikendalikan oleh akal
ekonomi, akal pengusaha. Pesta demokrasi di tingkat kabupaten/kota sampai
pilpres, tak lepas dari restu pelaku ekonomi yang merupakan bagian dari
konstruksi ekonomi internasional. Notabene sesuai skenario negara-negara
pengatur dunia.
Akal politik hanya berharap
pembagian kue nasional, walau dapat remah-remahnya, yang penting masih bisa
dikunyah. Beda denga akal pelaku ekonomi, mereka berani berkorban apapun untuk
membuat daerah otonomi baru. Membuat kue nasional sendiri. Tidak sekedar
mengurug pantai, menambah luas daratan.
Mereka tidak mau memanfaatkan lahan tak bertuan. Walau berani menerabas
tepat jin buang anak.
Pelaku ekonomi lebih suka
membuka (baca : membuat) daratan baru sehingga bisa menjadi tuan, menjadi
penguasa lokal di balik layar. Daratan baru atau apapun sebutannya, menjadi
tempat orang kaya buang duit. Investasi masa depan anak cucunya. Membentuk kota
kecil yang super mandiri, super lengkap, ekslusif, jauh dari kesan kantong
kemiskinan. Mencitrakan kehidupan klas duniawi.
Kasus reklamasi pantai utara
Jakarta, teluk Jakarta, bisa masuk kategori menambah kawasan pecinan, lewat mega proyek tanggul laut raksasa (Great Sea Wall).
Menjadi kawasan serba multi, bahkan hukum tak berlaku, menjadi kawasan super
khusus. Menjadi transit imigran gelap, pendatang aseng, menjadi karantina pendatang
haram yang dikondisikan siap berasimilasi dengan pribumi.
Karena
proses reklamasi teluk Jakarta merupakan fungsi uang, jangan heran jika kota
kecil, atau bisa menjelma menjadi negara dalam negara, bernilai komersial jauh
di atas angan-angan rakyat. Pengorbanan uang pengembang, mereka anggap tak ada
kaitannya dengan mengorbankan nelayan, mengorbankan lingkungan, mengorbankan rupa
bentang pantai, mengorbankan sumberdaya serta apalagi mengorbankan masa depan
generasi penerus. Mereka merasa Indonesia sudah dibeli, yang sudah dirintis dan
dilakukan oleh leluhurnya sejak zaman Kompeni. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar