Halaman

Sabtu, 16 April 2016

otonomi daerah versi reklamasi teluk Jakarta

otonomi daerah versi  reklamasi teluk Jakarta

Sejauh ini kita hanya mencerna bahwa otonomi daerah adalah hak untuk mengurus dirinya sendiri, secara mandiri, tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Semangat otonomi daerah meningkat, memasuki fase semangat membentuk daerah otonom baru (DOB). Minimal membentuk wilayah administrasi baru tingkat kabupaten/kota. Berbagai dalih, alasan, kiat dipaparkan untuk memperkuat menambah DOB. Mulai luas wilayah, sebaran dan jumlah penduduk serta sumber daya alam yang prospektus. Jujur saja, semangat menambah wilayah administrasi lebih didominasi akal politik.

Semangat Reformasi, khazanah perjuangan bangsa dan negara, ditambah atau bahkan dikendalikan oleh akal ekonomi, akal pengusaha. Pesta demokrasi di tingkat kabupaten/kota sampai pilpres, tak lepas dari restu pelaku ekonomi yang merupakan bagian dari konstruksi ekonomi internasional. Notabene sesuai skenario negara-negara pengatur dunia.

Akal politik hanya berharap pembagian kue nasional, walau dapat remah-remahnya, yang penting masih bisa dikunyah. Beda denga akal pelaku ekonomi, mereka berani berkorban apapun untuk membuat daerah otonomi baru. Membuat kue nasional sendiri. Tidak sekedar mengurug pantai, menambah luas daratan.  Mereka tidak mau memanfaatkan lahan tak bertuan. Walau berani menerabas tepat jin buang anak.

Pelaku ekonomi lebih suka membuka (baca : membuat) daratan baru sehingga bisa menjadi tuan, menjadi penguasa lokal di balik layar. Daratan baru atau apapun sebutannya, menjadi tempat orang kaya buang duit. Investasi masa depan anak cucunya. Membentuk kota kecil yang super mandiri, super lengkap, ekslusif, jauh dari kesan kantong kemiskinan. Mencitrakan kehidupan klas duniawi.

Kasus reklamasi pantai utara Jakarta, teluk Jakarta, bisa masuk kategori menambah kawasan pecinan, lewat mega proyek tanggul laut raksasa (Great Sea Wall). Menjadi kawasan serba multi, bahkan hukum tak berlaku, menjadi kawasan super khusus. Menjadi transit imigran gelap, pendatang aseng, menjadi karantina pendatang haram yang dikondisikan siap berasimilasi dengan pribumi.

Karena proses reklamasi teluk Jakarta merupakan fungsi uang, jangan heran jika kota kecil, atau bisa menjelma menjadi negara dalam negara, bernilai komersial jauh di atas angan-angan rakyat. Pengorbanan uang pengembang, mereka anggap tak ada kaitannya dengan mengorbankan nelayan, mengorbankan lingkungan, mengorbankan rupa bentang pantai, mengorbankan sumberdaya serta apalagi mengorbankan masa depan generasi penerus. Mereka merasa Indonesia sudah dibeli, yang sudah dirintis dan dilakukan oleh leluhurnya sejak zaman Kompeni. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar