Halaman

Jumat, 15 April 2016

ide awal revolusi mental Joko Widodo, pesta demokrasi vs demokrasi jalanan

ide awal revolusi mental Joko Widodo, pesta demokrasi vs demokrasi jalanan

Di situs, laman, website atau entah mana sebutan yang benar, pokoknya di PresidenRI.go.id,  saya baca judul “REVOLUSI MENTAL”, oleh : Joko Widodo. Menarik dan patut disimak, terlebih pada kata pemanas, yaitu :

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pimpinan nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang, semakin galau?

Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai Susilo Bambang Yudhonoyo (SBY), Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat melalui proses yang demokratis.

Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini malah mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10-besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya kemampuan mereka untuk melakukan pergantian pimpinannya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.

Namun, disisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil, dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini? Pimpinan nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak sementara oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Izinkan saya melalui tulisan singkat ini untuk menyampaikan pandangan saya menjelaskan dan menguraikan permasalahan bangsa ini dan manawarkan paradigma dan cara pandang baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan, untuk itu pandangan ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman kepemimpinan saya selama ini baik sebagai Walikota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
* * *
 Jadi, kata kunci berupa frasa, “pesta demokrasi” dan “demokrasi jalanan”.

Rakyat dengan ilmu politik yang diserap dari bangku sekolah pendidikan politik versi warung nasi, pasar tradisional, lesehan pinggir jalan, begadang jaga malam, atau gaya arisan antar ibu rumah tangga, serta model musyawarah di tempat kongkow, nongkrong dan nangkring di pingir jalan, di pinggir kali, menjadikan mereka sadar politik. Saat pesta demokrasi, apakah itu pileg, pilpres maupun pilkada, rakyat tanpa komando, mendatangi TPS. Menggunakan hak pilihnya sebagai kewajiban hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Golongan putih (golput) terkadang menjadi pemenang, jangan serta-merta menyalahkan rakyat. Tidak memilih ‘kucing dalam karung’, rakyat lebih luber (langsung, bebas, rahaaaasia). Politik uang bisa tak manjur atau malah sebagai kesempatan rakyat berusaha lima tahun sekali. Ada korelasi timbal-balik antara siapa kandidat yang ikut pesta demokrasi, dengan tingkat partisipasi atau peran rakyat, serta sebagai faktor penentu sukses tidaknya pesta demokrasi.

Barang baru, barang bagus, tanpa kampanye bertele-tele, tetap dicari. Kandidat yang nilai jualnya karena masuk kategori kader orbitan, kader karbitan memang ada yang sukses atau sebaliknya. Politik dinasti atau dinasti politik, menjadi batu sandungan mulusnya demokrasi di Indonesia. Sistem rekrutmen partai malah menyuburkan tipikor. Koruptor lahir dari rahim partai.

Rakyat turun ke jalan, melakukan unjuk rasa, unjuk raga, sebagai bukti sistem keterwakilan rakyat mandul, tumpul, mlempem atau hanya sebatas di atas kertas. Rakyat memperjuangkan nasibnya sendiri, jika mengandalkan aparat keamanan, terlanjur mati tenggelam. Berharap belas kasih pemerintah daerah, terlanjur gosong. Menunggu uluran tangan pihak berwenang, terlanjur hamil diluar nikah.

Diakui, yang tanggap terhadap bencana alam, bukan partai politik yang siap siaga terjun ke lokasi kejadian perkara, tetapi aparat keamanan atau TNI. Pasca kejadian, setelah aman, terkendali, baru parpol berkesempatan mendirikan posko. Menarik pajak dari pengguna jalan dengan dalih bantuan amal bencana alam.

Pendidikan politik dalam paket “revolusi mental” diutamakan, ditujukan bagi pelaku dan pemain politik, bagi penyelenggara negara yang petugas partai, yang sedang kontrak politik lima tahun. Kemanfaatan revolusi mental, tunggu fakta sejarah, apakah tugas KPK menjadi ringan atau semakin berat. Atau meninggalkan bom waktu politik pada periode berikutnya.

Melihat gaya dan tampilan penyelenggara negara, secara nasional di periode Jokowi-JK, bisa-bisa bisa sebagai pemacu dan pemicu demokrasi jalanan. Suhu politik nasional bisa dilihat dari suhu politik di ibukkota negara, Jakarta. Jelang pilgub Jakarta 2017, konflik politik dengan berbagai paket menu menjadi agenda utama yang tak terelakkan. [HaeN].





Tidak ada komentar:

Posting Komentar