Halaman

Senin, 11 April 2016

Yusril di mata tukang bubur Cirebon

Yusril di mata tukang bubur Cirebon

Senin pagi saya mampir ke gerobak dorong yang parkir di deretan warung makan kaki lima,  Jakarta Selatan. Tukang bubur, tepatnya ibu penjual bubur, sedang asyik berbincang di “dapur” dengan sesama ibu. Tidak ada yang makan atau pembeli. Beda dengan kondisi di warung mie sebelah kanannya, orang lahap mengunyah mie di mangkok.

Waktu saya datang langsung ibu penjual bubur tanya : “Berapa bungkus?”. Ketika saya jawab sambil duduk di bangku: “Cuma seporsi dimakan di sini.”. Tampak ibu penjual kecewa. Beberapa tumpuk mangkok kotor belum sempat dicuci. Sibuk berdiskusi, yang saya tangkap bahasanya memakai bahasa daerahnya. Jawa ada, Sunda sedikit-sedikit. Yang jelas bicaranya tidak nerocos, ngomong masih pakai titik koma.

Usai menaruh mangkok isi bubur di depan saya, sambil tanya apa minumnya. Gelas teh sudah disajikan. Langsung diskusi antar ibu dilanjutkan. Kata temannya : “Kalau Yusril berapa persen . . . “. Ada beberapa kosa kata bahasa daerahnya yang tidak saya mengerti. Ternyata mereka diskusi soal peng-Ahok-an, soal Yusril yang mau mau maju di-pilgub DKI Jakarta 2017. Diskusi berat sebelah, karena teman ibu penjual bubur yang banyak ucap atau memberikan masukan. Seolah mencitrakan hasil pembangunan Jakarta, kinerja seseorang.

Sambil menghabiskan bubur yang sekedar untuk ganjal perut, saya coba rangkum dan susun menjadi risalah diskusi antar ibu ala Cirebon-an, tetapi jangan dijadikan acuan :

Pertama, sambil sebut nama seseorang perempuan, menjadi buruh bisa lega. Upah 3,2 per bulan sudah cukup.
Kedua, lokasi tempat kosnya, yang dulu langganan banjir. Sekarang sudah tidak lagi banjir.
Ketiga, ada penawaran ikut Paket B dan Paket C. Bukan ikut ujian SIM C lho.
Keempat, itu pak siapa, jadi tukang sampah di Jakarta, keren. Bisa jadi PNS.

Kita tidak tahu, karena sebagai wong Cirebon yang jual bubur khas Cirebon, ber-E-KTP DKI Jakarta atau masih mengantongi E-KTP prov Jawa Barat. Atau karena dengan darah Cirebon yang kental dengan agama Islam, mereka sebagai pendukung Yusril yang banyak diharapka bisa mewujudkan Jakarta sebagai kota religi. Islam-nya Jakarta bukan karena ada masjid Istiqlal atau masjid Al-Azhar Kebayoran. Bukan karena ada sejarah Sunda Kelapa, atau lainnya.

Kebidupan malam Jakarta, kehidupan serba bebas, bukti kebebasan ber-agama. Bebas menyalurkan pendapat, terutama hasrat.

Kalau Yusril dipandang ahli tata negara-nya sebagai nilai jual. Jangan lupa, penduduk atau masyarakat Jakarta siang beda dengan malam, dikenal serba multi. Masyarakat Betawi sudah terkontaminasi gaya hidup politik, gengsi politik, gaul politik, akal politik dan bahasa politik. Mereka sudah mengenal pasal komersial yang bisa menggusur pakem bermasyarakatnya. Budaya Betawi hanya sepantas sebagai hiburan, itu pun sudah sayup-sayup redup. Kalah total dengan budaya hura-hura ‘bebek nungging’.

Gubernur Jakarta malam hari tumbuh alami, tidak bisa direkayasa, apalagi direcoki tangan politik sekaliber mantan presiden. Sesuai semboyan, setiap hutan ada rajanya. Setiap jalan ada setannya. Setiap petak tanah Jakarta ada penunggunya, ono sing mbaurekso. Bahkan ada tempat yang sedemikian wingitnya, jin saja tak berani buang anak di situ. Ada peruntukan lokasi atau kampung, atau sebutan lainnya yang bisa menjadikan aparat keamanan mendapat promosi atau sebaliknya. Ada lokasi khusus yang bukan untuk masyarakat miskin. Numpang liwat dan lihat saja harus bayar.

Semua lahan kosong pun tidak bisa disebut ‘lahan tak bertuan’. Satu kaveling tanah dengan lebih dari satu sertifikat beda nama pemilik. Mirip kuburan yang bisa berlapis. Bantaran rel kereta api, sungai, bawah sutet, kolong jembatan layang bisa dibisniskan secara legal. Penghuni rumah susun bisa menjadi ATM pengembang, menjadi agunan bisnis berantai pengembang. Jakarta kota 24 jam. Tak pernah tidur. Kalau perlu wilayah fisik jakarta diperluas ke laut. [HaeN]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar