Radikalisasi Anak,
Komoditas Ekonomi vs Kepentingan Politik
Daya kritis seseorang atas nasib anak, memang bisa berangkat dari pengalaman
pribadi. Bisa juga karena tuntutan dan tantangan pekerjaan. Di pihak lain,
betapa tuntunan agama agar kita peduli anak, khususnya anak yatim.
Menjadi fenomena yang terus menggejala. Mulai pasal anak jalan (anjal) yang
masuk kategori penyakit masyarakat dan menjadi bidang garap aparat kepolisian. Pekerja
di bawah umur atau tenaga kerja anak karena tekanan ekonomi. Seolah menjadi
menu kesibukan pemerintah.
Bagaimana daya tanggap anak bangsa atas polemik KPAI dan PB Djarum, malah
menjadi pintu masuk menguak pasal pendayagunaan anak. Bukan pada masalah pro
dan kontra. Banyak pihak menjadikan kesempatan untuk berujar, rembuk kata
secara sepihak. Nyaris tendensius, berat sebelah serta menunjukkan diri tidak
tahu duduk perkara.
Semua pihak merasa berhak buka mulut, unjuk gigi, tepuk dada. Muncul pahlawan kesiangan atau kepagian. Padahal mata
rantai tindak terhadap anak, sedemikan masif. Masih tahun politik, kalau tak
bicara politik rasanya tak intelek, tak berklas. PR nasib anak bertumpuk dan
seolah terlupakan.
Mau tak mau, hukum akan terpengaruh perseteruan modus raksasa ekonomi atau kebal
hukum pelaku politik yang memanfaatkan polemik. Adab bangsa diuji. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar