jimpitan kerikil oleh
petugas partai, modal bangun kayangan
Kisah asal dikisahkan. Adalah SD Negeri pinggir negeri sendiri. Belum punya
kode pos. Halaman sekolah mengkuti sentimen alam. Gersang menyengat saat musim
kemarau yang selalu diperpanjang. Menjadi kubangan, genangan saat hujan sebagai
bukti Rachmat dari Allah swt.
Rakyat pandai bersyukur atas hadirnya SD dimaksud. Apakah karena sesuai
sistem rayon, anak didik menjadi terseleksi. Jalan kaki menuju lokasi, menjadi
pendidikan mental tanpa konsep. Laju pertumbuhan ekonomi lokal mendorong kenal
kerja sebelum waktu yang ditetapkan oleh pemerintah. Kalimatnya agak panjang.
Satu hal yang menjadi subyek penguasa atau elite lokal. Kepala sekolah
membuat kebijakan. Agar setiap siswa, murid, anak didik setiap senin membawa
beberapa kerikil dan atau kerakal. Bebas jumlah dan ukuran. Langsung ditebar di
halaman sekolah.
Hasil pengamatan, dirasa butuh waktu untuk membuat halaman meninggi. Tambah
waktu, setiap senin dan jumat. Guru, pendidik gotong royong menggali tanah. Tempat
sampah organis. Tanam pohon sesuai fungsi halaman, lapangan sekolah.
Soal air untuk penyiraman. Andalkan sumur gali bantuan relawan, orangtua,
tokoh masyarakat dan pihak yang berkontribusi nyata. Akhirnya, karena masih
dalam proses, belum dapat disimpulkan. Rasanya, rasa swadaya, swasembada,
swakarya terasa dan menjadi hak milik rakyat akar rumput. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar